MEGAWATI dan INDONESIAnya
Iman Brotoseno
Banyak yang menyangsikan kualitas kepemimpinan Megawati, bahkan kerap diejek karena selalu diam. Dulu kolumnis Rosihan Anwar pernah menyindir dengan membuat analogi patung Sphinx di Mesir, yang diam duduk mematung. Namun sejahrawan Asvi Warman Adam menyaksikan dalam Kongres III PDIP di Bali tahun 2010, dimana Megawati mampu bicara dengan bersemangat tanpa teks selama 2 jam penuh. Isi pidatonya menarik dan mampu membakar massa. Secara romantis, Prof Asvi menggambarkan, seakan menyaksikan Soekarno hidup kembali dalam gema lantang Megawati.
Hal ini saya lihat kemarin dalam pidato politik Megawati di Kongres V PDIP. Dia berhenti membaca teks pidato dan memukau berbicara tanpa teks. Kadang ia memperagakan dengan aksi lucu dan kembali menggelegar menusuk. Megawati benar benar menguasai panggungnya.
Barang kali tidak ada pemimpin paska reformasi yang memiliki pengalaman hidup seperti Megawati. Ia diam menekan perasaannya, ketika diperintahkan ayahnya untuk menyiapkan nasi goreng buat mahasiswa mahasiswa yang menghadap Soekarno. Bagaimanapun ia tahu, para mahasiswa ini sedang berusaha menjatuhkan ayahnya. Ketika pemimpin partai politik masa kini masih balita atau belum lahir. Megawati sudah secara tragis menanggung konsekuensi politik. Ia dipaksa keluar dari kuliahnya di Universitas Padjajaran.
Semasa orde baru, partainya diintervensi secara vulgar oleh rezim Soeharto. Peristiwa 27 Juli 1996 merupakan titik balik bagi Megawati. Namanya dipuja puja oleh rakyat kecil dan menjadi simbol yang dizalimi. Tahun 1999 partainya memperoleh lebih dari 30 % suara, sehingga melapangkan jalan menjadi Presiden. Namun terjadi penolakan dari sebagian kalangan Islam terhadap Presiden perempuan. Kemarin Megawati juga mengisahkan jatuh bangun perjalanan politiknya, bagaimana dia kerap dikerjai lawan lawan politiknya. Tapi dia tidak menyerah dan menunggu waktu yang tepat.
Lebih dari itu pusaran politik yang terjadi, membuat dia ‘dikerjai‘ kembali oleh pemimpin pemimpin partai politik lainnya, sehingga analogi partai pemenang pemilu harusnya layak menjadi penguasa (baca : Presiden) tidak terjadi. Megawati harus legowo menjadi wakil Presiden saja. Padahal protokoler sudah membuat simulasi pelantikan Megawati sebagai Presiden, karena dianggap bakal terpilih. Baru ketika Gus Dur dimakzulkan, Megawati menjadi Presiden tanpa penolakan lagi. Ini menghancurkan mitos bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, apalagi Presiden di Indonesia.
Megawati juga membuktikan komitmennya terhadap NKRI. Pada bulan Januari 2000, selama beberapa hari Mega datang ke wilayah pertikaian antarkelompok agama di Maluku Tenggara, Ambon, dan Ternate. Dengan meneteskan air mata, berkali-kali Mega menyerukan, ”Saya sebagai ibu meminta, hentikan pertikaian ini. Pertikaian ini kalau berjalan terus akan memusnahkan satu generasi.” Banyak hadirin ikut meneteskan air mata saat itu.
Awal Maret 2001, Mega datang ke wilayah kerusuhan etnis di Kalimantan Tengah. Ia mendatangi tempat pengungsian orang-orang yang menghindari kerusuhan di kota Sampit. Ribuan orang tinggal di tenda-tenda darurat di sebuah lapangan. Hanya ada tiga WC atau jamban darurat di tempat pengungsian itu. Maka, banyak tinja berserakan di tempat tersebut. Aroma bau kotoran manusia sangat menyengat. Mega berjalan masuk ke wilayah itu tanpa memedulikan sepatunya yang menginjak kotoran manusia yang berserakan di tempat tersebut. Air matanya berlinang ketika ia membelai-belai para ibu-ibu, anak-anak, dan orang tua di tempat seperti itu.
Megawati dianggap berjasa menyelenggarakan pemilu secara aman dan damai tahun 2004, karena untuk pertama kalinya pemilihan Presiden secara langsung dalam sejarah Indonesia. Banyak yang menganggap Megawati kurang piawai dalam manajemen politik, sehingga ‘dikerjai‘ oleh militer ketika pusat memutuskan menyerbu Aceh. Bahkan dalam setelah kegagalan pemilu 2009, sekali lagi ia memilih konsisten memilih berada di luar pemerintahan. Prestasi ini bisa dilihat dalam perjalanan partai ini (PDI-P), dua kali jadi partai oposisi dengan menampilkan tema partai yang ideologis dilaksanakan secara konsisten, disiplin, kepada kader-kadernya sehingga PDI Perjuangan bisa melewati masa-masa kritis.
Bagi kalangan partai, hampir tidak mungkin memajukan nama lain selain Megawati dalam bursa ketua umum. Ini yang dilupakan oleh kalangan eksternal yang semata melihat memilih Megawati, sebagai tanda kegagalan regenerasi di Partai Banteng. Mereka kalangan kelas menengah dan aktivis sosial media yang tidak memahami kultur dan semangat kebatinan dalam kader dan akar rumput.
PDI Perjuangan memiliki wong cilik yang tidak paham internet. Mereka adalah grass-root yang secara konsisten menjadi lumbung suara partai. Adagium‘ Pejah gesang nderek Bu Mega ‘sebagai pengejawantahan‘ Surgo nunut, Neroko Katut-nya Bung Karno. Bagi mereka Megawati adalah tokoh karismatik yang menjadi simbol sekaligus pemersatu partai. Fenomena ini tidak hanya di Indonesia, ketika darah biru menjadi syarat utama. Di India sampai sekarang, darah biru Indira Gandhi menjadi penentu dalam partai Kongres. Bahkan di Amerika, keturunan Kennedy menjadi keuntungan tersendiri dalam partai Demokrat.
Profesor riset di LIPI, Syamsuddin Haris pernah menyebut ‘Primus Interpares‘ , sosok yang tidak hanya mempersatukan berbagai unsur yang beragam, tetapi menjadi sumber legitimasi bagi partai itu sendiri. Belum terbayangkan oleh segenap kader PDI Perjuangan, apa yang terjadi seandainya Megawati tidak bersedia menjadi ketua umum kembali.
Memilih kembali Megawati merupakan kesepakatan untuk mempertahankan soliditas di internal partai. Dianggap demokrasi atau tidak, sampai saat ini belum ada figur seperti Megawati yang mampu membuat solid PDI Perjuangan. Kepemimpinan Megawati yang membuat PDIP tidak pernah digoyang perpecahan seperti partai partai lain. Megawati juga bukan tipikal orang yang membuat polemik dengan penentangnya di media massa. Dia membiarkan orang membully bahkan memfitnahnya, tanpa harus memberikan klarifikasi secara langsung. Begitulah Ibu Mega, kata orang PDIP sendiri tak pernah membalas serangan yang dilakukan adiknya, Rachmawati. "Biarkan saja Rachma, dia adik saya“.
Ada kisah menarik tentang Bu Mega yang tak pernah perduli dengan uang gajinya. Saat ia menjadi anggota DPR jaman orde baru, ia tak pernah mengambil gajinya dan tunjangan lainnya. Uang itu justru diambil staff kepercayaannya dan disimpan didalam brankas selama bertahun tahun. Ketika memasuki masa kampanye setelah reformasi, Megawati diberitahu bahwa ia masih memiliki uang simpanan yang bisa dipakai untuk biaya kampanye. Namun uang itu sudah tidak laku, karena sudah terlalu lama disimpan sehingga biro iklan yang menerima uang itu harus menukarkan terlebih dahulu ke Bank Indonesia.
Megawati juga tak ragu mengambil cincin perhiasannya dan memberikan kepada tim kampanye PDIP yang kesulitan uang. Kisah ini juga diceritakan seorang wartawan senior Majalah Tempo kepada saya saat kami mengikuti bersama Megawati, terbang keliling Indonesia saat kampanye 2014.
Rosihan Anwar barangkali salah. Diamnya Megawati adalah kegelisahannya melihat Indonesia. Dengan keterbatasan dan kekurangannya, tak ada yang meragukan kecintaannya pada negerinya yang majemuk ini, sebagaimana yang diucapkan dalam pidato penutupnya kemarin.
Bangkitlah banteng-banteng di seluruh tanah air. Bangkitlah seluruh rakyat Indonesia.
Bangkit dengan jiwa Pancasila. Berderap serempak. Bergerak serentak. Satukan jiwa pengabdian. Mengabdi kepada Allah SWT. Mengabdi kepada tanah air dan mengabdi kepada bangsa Indonesia. Solid bergerak untuk Indonesia Raya. Indonesia yang sejati jatinya merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar