Sabtu, 29 Februari 2020

INDONESIA SUDAH MENJADI NEGARA MAJU

Keluar dari Daftar Negara Berkembang, Indonesia Sudah Layak Jadi Negara Maju?

Amerika Serikat (AS) menghapus Indonesia dari daftar negara berkembang, bersama beberapa negara lain seperti China, India dan Afrika Selatan.

Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai keputusan AS ini lebih bersifat politis. Serta berpotensi menimbulkan beberapa dampak negatif atau buruk ke depannya bagi Indonesia.

“Dalam konteks ini saya rasa pertimbangannya lebih ke politis daripada teknis yaitu ingin mengeluarkan Indonesia dari fasilitas yang biasa diterima oleh negara berkembang,” kata dia seperti mengutip Antara, Senin (24/2/2020).

Fithra mengatakan ada beberapa ketentuan untuk mengklasifikasikan sebuah negara menjadi negara maju. Mulai dari sektor industri yang harus mampu berkontribusi terhadap Gross Domestic Product (GDP) minimal 30 persen.

“Kalau dilihat dari ukuran negara maju Indonesia belum masuk ke sana karena negara maju adalah negara yang berkontribusi industrinya terhadap GDP sudah 30 persen ke atas,” kata dia.

Ia menyebutkan meskipun saat ini industri di negara-negara maju kontribusinya terhadap GDP turun, namun negara tersebut telah melewati tahapan sebagai negara industri sehingga dapat dikategorikan sebagai negara maju.

“Setelah melewati tahap itu baru bisa masuk kategori developed. Meskipun sekarang negara maju kontribusi industri terhadap GDP turun tetapi mereka sudah melewati tahapan sebagai negara industri,” katanya.

Berikutnya, ketentuan yang dapat mengkategorikan sebuah negara menjadi maju adalah melalui pendapatan per kapita yang harus di atas USD 12 ribu per tahun. Sedangkan Indonesia baru sekitar USD 4.000 AS per tahun.

“Hal yang bisa kita lihat lainnya adalah income per kapita yang kalau negara maju itu adalah di atas USD 12 ribu per tahun di mana kita di bawah USD 4 ribu per tahun,” ujarnya.

Tak hanya itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau HDI (Human Development Index) juga menjadi salah satu tolak ukur yaitu semakin tinggi IPM maka semakin tinggi kemakmuran masyarakat di negara tersebut.

“Ditambah lagi dengan HDI kalau sudah di atas 0,85 HDI nya itu sudah menjadi negara maju tapi kita masih 0,7. Sebenarnya itu sudah cukup baik tapi belum bisa dikategorikan sebagai negara maju,” katanya.

Oleh sebab itu, dicabutnya status negara berkembang menyebabkan Indonesia tidak menerima fasilitas Official Development Assistance (ODA) yang merupakan alternatif pembiayaan dari pihak eksternal untuk melaksanakan pembangunan sosial dan ekonomi.

Ia menyebutkan melalui ODA maka sebuah negara berkembang tidak hanya mendapat pendanaan dari pihak eksternal melainkan juga memperoleh bunga rendah dalam berutang.

“Kita bicara mengenai hubungan utang maka kita tidak dapat lagi klasifikasi ODA karena dengan itu kita akan mampu mendapatkan bunga yang murah kalau di bawah 4 ribu dolar AS bisa dapat 0,25 persen,” katanya.

Fithra melanjutkan, dampak terburuknya adalah terhadap perdagangan karena Indonesia akan menjadi subjek pengenaan tarif lebih tinggi karena tidak difasilitaskan lagi sebagai negara berkembang.

“Apalagi kita sekarang sudah menerima fasilitas pengurangan bea masuk Generalized System of Preferences (GSP) pasti ini juga akan berakhir dengan perubahan status ini,” ujarnya.

Fithra menyarankan agar pemerintah dapat menyiapkan strategi dalam menghadapi hal ini seperti memperkuat pasar non tradisional karena pasar AS dengan berbagai gejolak yang terjadi sudah tidak dapat diandalkan.

“Selama ini memang sudah dilakukan oleh pemerintah tapi harus dilihat lebih konkrit lagi karena AS dengan adanya berbagai gejolak saya rasa sudah tidak bisa diandalkan lagi,” katanya.
Sementara itu, Fithra menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mayoritas ditopang oleh faktor domestik sehingga tidak terlalu terpengaruh dengan kontribusi ekonomi internasional.

Di sisi lain, upaya pemerintah untuk fokus dalam mempertahankan konsumsi domestik saja belum cukup untuk membebaskan Indonesia dari middle income trap.

“Kontribusi ekonomi masih didominasi faktor domestik, selama ini belum signifikan kontribusi ekonomi internasional terhadap Indonesia tapi kalau untuk tumbuh ketinggal dari Vietnam, Malaysia, Fillipina, dan Thailand,” katanya.

https://www.google.com/amp/s/m.liputan6.com/amp/4186400/keluar-dari-daftar-negara-berkembang-indonesia-sudah-layak-jadi-negara-maju



Selasa, 18 Februari 2020

TENGGELAMNYA UAS KARENA PERILAKUNYA SENDIRI

PSEUDO-SCIENCE ISLAM DAN SALAH KAPRAH UAS

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A

Penulis sangat bersyukur melihat adik kelas selama di Universitas Al-Azhar, Mesir, maupun di Universitas Kebangsaan Malaysia, Ustad Abdul Somad (UAS), telah meraih gelar doktor. Terakhir viral ia menjadi Visiting Profesor (Dosen Tamu) dari salah satu kampus di Brunei Darus Salam. UAS bukan saja akademisi tetapi juga seorang da'i.

Penulis mengakui bahwa nalar dan amanah yang terkandung dalam gelar akademik sebagai "doktor” berbeda dengan nalar dan amanah yang berlaku dalam gelar kultural sebagai "da'i". Di dalam nalar akademik, tindakan yang terpuji hanyalah tindakan saintifikasi segala persoalan. Alam semesta ini, mulai dari langit, bumi, isi bumi yang terdiri dari manusia, hewan, dan bintang, semua itu harus dirumuskan menjadi ilmiah. Inilah kerja saintifikasi.

Agama (Islam) juga bisa jadi objek saintifikasi. Karenanya muncul ulumul Quran, ulumul hadits, fikih, kalam, dan tasawuf. Semua disiplin ilmu ini membuat agama Islam semakin terpahami secara lebih rasional. Sejarah sudah membuktikan bahwa Islam pernah berjaya di muka bumi Inilah pekerjaan saintifikasi Islam yang berhasil di zaman lampau.

Pekerjaan membuat agama rasional (saintifikasi) adalah tugas ilmuan Islam. Namun, ada perkara lain yang jadi anti-tesa dari pekerjaan akademis (saintifikasi Islam) tersebut. Yakni, Islamisasi sains. Sebenarnya, ini sudah wacana lawas dan sangat usang dalam kajian keislaman. Islamisasi sains adalah pekerjaan yang sangat ringan sekali. Tanpa perlu riset dan penelitian ilmiah, siapa pun bisa melakukannya. Bahkan, seorang yang tidak berpendidikan pun bisa melakukannya. Cukup bermodal klaim buta.

Di titik ini, penulis sedikit menyesali UAS yang menyebut persebaran virus corona di Wuhan China sebagai tentara Allah (Hajinews.id, 11/2/2020). Tentara Allah yang tidak akan membunuh Muslim Uyghur. Karena Muslim Uyghur terpelihara kebersihannya karena wudhu'.

Penulis rasa, tidak perlu seorang bergelar doktor untuk berbicara seperti itu. Seorang artis pun tinggal kita beri teks ceramah/pidato, lalu suruh bicara di depan publik, kemudian upload ke media sosial. Dia pun pasti fasih bilang virus corona adalah kutukan dari tentara Tuhan atas manusia Wuhan, China.

Penyebaran virus corona adalah satu fenomena. Perilaku hidup muslim Uyghur di Xinjiang adalah fenomena lain. Dua fenomena ini diringkus ke dalam satu sudut pandang: kutukan dan serangan tentara Tuhan. Sehingga muncul satu penarikan kesimpulan, walaupun sesat dan menyesatkan, yang berbunyi: "virus corona tidak akan menyerang hamba Tuhan yang makan makanan sehat, suci, bersih, tak ada bakteri."

Nalar sesat seperti di atas dapat berlaku dalam kasus-kasus lain tanpa terbatas. Misalnya: 1) merebaknya korupsi di lingkaran pejabat pemerintah, 2) sistem demokrasi dan Pancasila yang disepakati mayoritas, dan 3) ideologi khilafah yang diyakini sebagai solusi persoalan umat dari hulu ke hilir. Jika tiga variabel ini digabung maka akan tampak tersusun begini: "khilafah harus ditegakkan demi mengatasi segala problem umat, termasuk korupsi dan kegagalan sistem demokrasi maupun Pancasila." Ini nalar palsu, pseudo-science.

Islamisasi sains dapat dibilang “pseudo-sciences,” kebenaran yang menipu, terlebih di mata kaum akademisi. Tetapi, bagi sebagian orang, Islamisasi sains sangat entertain, menghibur, memberi motivasi dan semangat. Bukan saja dalam kasus virus corona saja, ketika teori Big Bang sulit dibantah maka berbondong-bondong umat muslim mencari dalilnya dalam al-Quran. Sudah pasti mereka ketemu, dan bangga dengan kecocokan tersebut.

Contoh lain, ketika teori energi ditemukan dan manusia bisa terbang ke luar angkasa, maka umat muslim bergembira karena lagi-lagi menemukan ayat-ayat al-Quran yang cocok. Padahal, mereka yang mengaji al-Quran tidak terlibat aktif dan berkontribusi besar pada penemuan-penemuan saintifik tersebut.

Sebaiknya, UAS belajar membatasi diri dan cukup mengatakan bahwa penemu virus corona pertama kali adalah umat muslim, bukan orang China. Sebab pernyataan begini dapat divalidasi, difalsifikasi, yang merupakan ciri utama sains. Berbeda bisa tafsir UAS terlampau jauh dengan mengatakan bahwa virus corona sebagai tentara Allah. Ini mustahil difalsifikasi, dan karenanya ia otomatis tidak ilmiah.

Rasulullah saw. ingin umat muslim menggunakan akal sehatnya dalam beragama. Dalam kitab Faidhul Qadir Syarhul Jami' as-Shaghir, Abdurrauf al-Munawi mencatat riwayat yang berbunyi: "Qawwamul Mar-i 'aqluhu, wa la dina liman la 'aqla lahu, pemimpin seseorang itu adalah akalnya. Tidak ada agama bagi orang yang tidak punya akal," (al-Munawi, Faidhul Qadir, Juz 4, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1972: 528).

Umat muslim generasi Salafus Soleh paham betul apa maksud dari hadits di atas. Karena itulah, muncul tokoh-tokoh besar di dalam sejarah Islam. Sebut saja Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar yang terkenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (691-751 H.). Beliau mengarang kitab kedokteran yang didasarkan pada sunnah Nabi, berjudul kitab At-Thibb An-Nabawi. Jika dipelajari sungguh-sungguh, isi kitab ini adalah ilmu kedokteran yang rasional, empiris, positivistik, kuantitatif.

Kemampuan umat muslim untuk berpikir rasional, menciptakan sains pengetahuan, sembari tetap berpegang pada al-Quran dan Hadits, melahirkan banyak ilmuan. Dr. Subhi al-Mazini mengarang sebuah kitab berjudul Rawa'iu Tarikh at-Thibb wal Athibba' al-Muslimin, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1971.

Di sana terdapat penjelasan historis pencapaian-pencapaian prestisius di bidang kedokteran oleh umat muslim di masa-masa awal kebangkitan Islam. Andaikan mereka masih hidup di zaman kita, tentu mereka tidak akan menyebut "virus corona" sebagai kutukan pada orang China yang telah berlaku kejam pada muslim Uyghur. Pasti salafus soleh kita itu akan melakukan riset ilmiah dan menciptakan obat penangkalnya.

Penulis rasa, Islamisasi pencapaian prestisius sains dalam berdakwah lebih banyak mengandung unsur mudaratnya dari pada manfaatnya. Mungkin sebagian audiens akan terhibur dan puas, tapi dampak negatifnya akan panjang. Yakni, rusaknya mentalitas umat muslim dan pembodohan publik yang mengarah pada kemunduran umat Islam. Semoga UAS paham atas dampak konten ceramahnya itu.[]

Penulis adalah Alumni pesantren Lirboyo, Kediri; alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Sumber: https://www.trib unnews.com/tribunners/2020/02/13/pseudo-science-islam-dan-salah-kaprah-uas

Follow IG HWMI :
https://www.instagram.com/hubbul_wathon_

#HubbulWathonMinalIman






Jumat, 07 Februari 2020

KUTAI MULAWARMAN ITU PALSU

TENGGARONG –  Kesultanan Kartanegara Ing Martadipura dan tokoh masyarakat Muara Kaman sepakat memutuskan bahwa Iansyahrecha, pria asal Muara Kaman yang mengklaim dirinya sebagai Raja Mulawarman--bukanlah seorang keturunan bangsawan apalagi raja.

Keputusan itu diambil melalui rapat yang dihadiri Kesultanan Kartanegara Ing Martadipura dan tokoh masyarakat Muara Kaman pada 30 Agustus 2018 lalu, di Kedaton Kutai.

Rapat itu untuk klarifikasi dan meluruskan silsilah kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. “Selaku pihak Kesultanan, kami sangat menyayangkan atas pengakuan Labok. Kita takutnya negeri kita tercinta ini tercemar oleh orang-orang yang mengaku-ngaku seperti itu,” kata Juru Bicara Kesultanan Kutai Ing Martadipura, Aji Aryo Pangeran Puger kepada Koran Kaltim, Minggu (9/9). Secara umum, ada lima kesepakatan dalam pertemuan yang dimoderatori oleh Awang Yacoub Luthman tersebut.

Pertama, Kerajaan Mulawarman telah tiada dan yang ada saat ini hanyalah  Balai Adat yang sekarang bernama Tabalai Muara Kaman.

Kedua, SK  Labok  adalah SK Adat Muara Kaman, dengan Asril sebagai ketua dan Labok sebagai wakil ketua.

Ketiga, Kelembagaan Kesultanan Ing Martadipura adalah kelembagaan yang diakui oleh Pemprov Kaltim dan Pemkab kukar dengan Sultan (alm)  HAM Salehoeddin II dan Putra Mahkota Pangeran Adipati Anoem.

Point ke empat, ayah Labok diketahui bersuku Bugis, sehingga jelas tak ada beradarah Kutai. .
.
“Lima, kami meminta Polres dan Kodim agar mengusut ketidak benaran dan masalah dugaan penyimpangan adat yang diduga disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan terindikasi mengarah ke tindak pidana,” kata Puger.

Sumber : INFO KUKAR





Rabu, 05 Februari 2020

Jangan sampai dipulangkan membahayakan manusia

Bagaimana menyikapi mereka yang ingin kembali dari Daulah Islamiyah?

Saat ini, ada puluhan orang yang diindikasikan sebagai WNI yang berada di penampungan di Syria pasca binasanya Daulah Islamiyah alias ISIS. Mereka yang pergi atas keinginan sendiri demi hijrah ke Daulah Islamiyah ini sekarang memohon agar dipulangkan kembali ke Indonesia.

Ada desakan besar dari WNI agar mereka ini tidak dikembalikan, bahkan kalau perlu dicabut kewarganegaraan mereka. Ini adalah reaksi yang patut dihargai karena Indonesia dan WNI di Indonesia pun sudah merasakan bagaimana teror dan kekerasan yang dilakukan oleh ISIS lewat kelompok-kelompok pendukung mereka di sini, maupun lewat meningkatnya aksi-aksi intoleransi yang sejalan dengan paham ISIS.

Akan tetapi, apakah pemerintah mampu untuk mencabut kewarganegaraan mereka?
hal itu tidak bisa dilakukan, paling tidak, tidak bisa bisa dilakukan sekarang.

Hal mendasar adalah bahwa undang-undang kewarganegaraan kita TIDAK MENGAKOMODIR hal tersebut. UU 12/2006 memuat kondisi bagaimana seseorang WNI bisa kehilangan kewarganegaraannya, misalnya karena ikut dinas tentara asing, atau karena secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut. Kendalanya adalah ISIS itu bukan negara karena tidak pernah diakui sebagai negara oleh pemerintah Indonesia. Jadi syarat ini tidak terpenuhi.

Kalau pemerintah Indonesia mencabut kewarganegaraan berdasarkan UU 12/2006 ini, maka dipastikan di hari yang sama, akan muncul 'pembela-pembela' yang mengatas namakan keluarga WNI ini, yang akan mengajukan tuntutan kepada pemerintah di pengadilan. Hal ini juga akan memberikan 'amunisi' bagi politisi-politisi anti pemerintah untuk melancarkan serangannya kepada Pemerintah yang dianggap melanggar UU.

Jadi, kalau opsi ini bukan opsi yang tepat, maka apa seharusnya 'actionable' response?

Yang paling tepat, dan bisa dilakukan sekarang adalah:

1. Menuntut Pemerintah, lewat BNPT untuk mengumumkan secara publik data2 dari orang-orang tersebut;

2. Menuntut Pemerintah, lewat BNPT dan Kemlu untuk membuka ke publik proses screening orang-orang pengikut ISIS ini. Proses ini harus secara transparan dibuka ke publik, agar publik tahu, dan yakin bahwa orang2 yang dikembalikan adalah mereka yang 'low risk'.

3. Menunda proses pemulangan mereka! Negara, atas amanat UU, harus memberikan pelayanan konsuler kepada WNI, termasuk eks-ISIS ini, tapi negara tidak harus melakukannya SEKARANG. Proses ini bisa ditunda sampai status resiko mereka jelas.

Nah, jangka panjangnya adalah menuntut Pemerintah dan DPR agar melakukan revisi UU 12/2006, sehingga WNI yang sudah berbaiat kepada negara dan/atau kelompok bukan negara, seperti ISIS, bisa dicabut kewarganegaraannya. Tapi ini butuh partai politik yang satu frekwensi dengan pemerintah. Oleh karena itu maka JANGAN PILIH Parpol yang punya frekwensi yang kompatibel dengan organisasi ekstrimis dan teror, misalnya partai berhaluan Ikhwanul Muslimin. ( By Alto luger  )

Setia Waspada




Selasa, 04 Februari 2020

Muhasabah Buat Kita orang NU

Muhasabah
Buat Kita orang NU

Oleh Gus Baha

NU itu terlalu banyak pengajian umum. Tradisi ngaji (kitab) mulai hilang.  Itu lampu merah.

Orang kaya suka ulama. Suka kiai. Tapi maunya ngatur ulama, tidak mau diatur ulama.

Saya ga mau ngaji yang ribet itu. Harus pasang panggung, sound system, yang penting bupati datang. Ribet.

Mereka habis 50 juta, 100 juta tidak masalah. Tapi sesuai mau mereka, yang datang jamaahnya banyak. Coba, kalo nuruti maunya kiai, ulama, ngajinya menganalisa kitab, uangnya buat mencetak naskah, pasti tidak mau.

Saya ingin kebesaran ulama itu kembali, yaitu bisa mengatur orang kaya. Bukan seperti sekarang, diatur orang kaya.

Banyak yang datang minta pengajian umun, bawa alphard, saya jawab kalo mau ngaji datang ke sini saja. Kalo kiai diatur-atur, kan ribet.

Bukan saya anti. Dan itu perlu. Tapi sudah over. Tapi tradisi ngaji yang sebenarnya, yang jadi standar NU, sudah mulai ditinggalkan.

Ditambah, kiai yang kedonyan, cinta dunia. Klop. Yang kaya, tahunya memuliakan kiai dengan uang, kiainya juga senang. Musibah. Terutama di Jawa Timur.

Saya keluar dari kantor PWNU Jawa Timur, langsung dikasih voucher umroh. Saya jawab, tidak, saya kiai Jawa Tengah.

Makanya saat saya diundang di Tebu Ireng, Pondok Syaikhona Kholil, Termas ... Saya mau asal, disediakan naskahnya Mbah Hasyim  Asy'ari, Mbah Kholil, Syaikh Mahfudz Termas.

Ya, saya ngajinya kitab para pendiri pesantren itu. Bukan ngaji gus baha tapi ngaji Mbah Hasyim Asy'ari, dll.

Ini kan musibah. Selama ini dzurriyah, para cucu tidak peduli dengan naskah pendiri. Padahal ada ahli filologi, pengumpul naskah. Naskah masyayikh kita ada di luar negeri, cucunya ga punya.

Saya punya naskahnya Syaikh Mahfudz yang tidak ada di Termas. Saya dikasih Mbah Moen. Akhirnya, para cucu ngaji ke sini.

Coba, Sirojut Tholibin di cetak di mana-mana, termasuk Yaman. Namun, kita tahu nasibnya di Jampes.

Kiai-kiai NU itu sudah alim. Ngerti hukum secara tafsil, kok malah hobi bicara yang mujmal. Ini kan sudah mau pinter, di suruh goblok lagi.

Anda itu ngaji, sampai buka kamus, meneliti tiap kata, harusnya ngajarnya seperti itu. Agar tetap alim.

Ada kiai yang sehari manggung 3 kali. Padahal, pasti dia tidak paham problem dakwah di setiap tempat itu. Dia tidak tahu objeknya, tidak tahu obatnya.  Pasti bicaranya standar, itu-itu saja, yang penting lucu dan menarik. Mana ada waktu untuk belajar lebih dalam?

Akhirnya ada orang ceramah ditambahi musik macam-macam. Karena dia tidak alim. Tidak terkontrol, yang penting menarik.

Akhirnya ya goblok beneran. Pondok NU juga ikut-ikutan tren. Bikin acara, ya pengajian umum. Yang datang banyak.

Masak, pondok NU mengundang Abdus Shomad dan Adi Hidayat.  Karena ikut tren tadi. Tidak tahu, keduanya itu kategorinya apa, detailnya mereka.

Musibah lagi, warga NU membaca tulisan Gus Ulil, Nusron bahkan Abu Janda tapi tidak tahu naskahnya Mbah Hasyim Asy'ari.

Saya hanya ingin, tradisi ilmiah di NU itu kembali. Kiai tidak boleh diatur orang kaya.

Jika tidak, NU bisa habis (orang alimnya). Saya di NU ditugasi ini, bukan yang lain.

Maka, saat saya di Lirboyo, saya bilang 'Gus Kafa, saya lebih senang disambut 4 santri yang benar-benar niat ngaji, daripada banyak santri yang niatnya tidak jelas'.

Kemudian, setiap kali saya ke Lirboyo, anak, mantu, cucu dikumpulkan dulu ngaji sama saya.

Jika, kita 5 tahun saja memulai. NU akan hebat. Jika bukan anak kita yang jadi alim, cucu kita akan jadi ulama. Itulah NU.

NU itu harusnya melahirkan kiai - allamah, bukan kiai-mubaligh seperti sekarang. Dan saya melihat sudah lampu merah.

Padahal di zaman kakek saya, bahasa Arab itu seperti bahasa Jawa. Saya punya tulisannya Mbah Hasyim Asy'ari yang surat-suratan dengan kakek saya dengan bahasa Arab.

Keilmuan, kealiman ini jangan habis. Dulu para pendiri, kakek kita, allamah, punya naskah. Jika kita terus begini, bisa habis.

- ditulis secara bebas -

KH. Bahauddin Nur Salim (Rois Syuriah PBNU)

📸 : KH. Musthofa Bishri bersama Syaikhina KH. Baha'uddin Nur Salim