Selasa, 13 Oktober 2020

PKI Teriak PKI dan dalang demo ternyata

 Yogyakarta keren.


“Babo, kalau Jokowi dijatuhkan sebelum tahun 2024, apakah bisa?" tanya nitizen.


“Bisa saja asalkan sesuai dengan konstitusi.”


“Kalalu dipaksa jatuh oleh demo, g


erakan people power, gimana?"


“Engga bisa.”


“Kalau dikudeta oleh militer, gimana?"


“Engga bisa.“


“Mengapa?"


“Jokowi itu bukan hanya Presiden, tetapi dia itu adalah bagian dari system negara. Kalau dia dijatuhkan tidak sesuai dengan konsitusi maka system akan runtuh. Kalau system runtuh, maka semua legitimasi negara akan jatuh trustnya.”


“Dampaknya apa?"


“Semua yang berhubungan dengan legitimasi negara jadi kehilangan trust. Harga saham akan jatuh. Obligasi engga ada nilai. Semua asset property jadi engga bernilai. Uang akan terjun bebas. Dampaknya jauh lebih buruk adalah tatanan sosial juga runtuh. Orang bisa menjarah apa saja. Bini orang bisa diperkosa, dan rumah orang dibakar. Orang melindungi dirinya sendiri seperti di rimba belantara. Pihak luar negeri engga mau menjual barangnya.  Barang konsumsi dan supply chain industri kehilangan pasokan. Produksi berhenti, kelaparan tidak bisa dielakan."


“Duh ngeri banget ya.”


“Ya, makanya walau TNI dan POLRI punya bedil, mana berani mereka lawan presiden. Bahkan bedilnya bukan di arahkan kepada presiden tetapi kepada orang yang berniat dan berusaha menjatuhkan presiden.  Bukan itu saja, semua negara di dunia, kalau ada orang atau kelompok yang mengkudeta kekuasaan akan kena hukum secara international. Bisa kena embargo pemerintahanya. Hanya masalah waktu kekuasaan itu akan jatuh dengan sendirinya. Dan kalau kudeta itu sampai menimbulkan korban kemanusiaan, maka PBB bisa menggunakan aksi militer untuk menangkap pelaku kudeta itu dan menghukumnya. Makanya jangan kaget bila koalisi negara di bawah PBB memburu gerombolan ISIS. Itu karena ISIS ingin merebut kekuasaan dari pemimpin sah Irak dan Suriah,” kata saya.


“Jadi kalau ada orang atau kelompok ingin merebut kekuasaan karena alasan ekonomi dan keadilan, itu hanya onani saja.”


“Sepanjang hanya sekedar ngomong ketidak sukaan kepada pemerintah itu sah saja dalam sistem demokrasi. Tetapi kalau ngomong hoax dan mengumbar atau memprovokasi kebencian,  itu kena pasal Pidana. Sepanjang demo dalam aksi damai , itu juga sah saja. Itupun aksi harus dapat izin dari Negara. Kalau tidak , itu gerakan liar. Akan berhadapan dengan bedil  Polisi dan TNI. Kalaupun dapat izin, harus mengikuti aturan hukum. Melanggar?  akan masuk penjara. Anarkis keroyokan, kena bedil. Paham ya?”


“Paham Babo. Kalau ingin merebut kekuasaan dan ingin mengubah UUD 45 jadi syariah islam, gimana?"


“Buat partai. Ikut pemilu. Pastikan dalam Pilpres dapat suara diatas lawan. Itu bisa jadi presiden untuk berkuasa secara konstitusi. Dan pastikan partai itu menguasai 75% suara di DPR. Maka UUD bisa diubah sesuai maunya.”


“Ya susah Babo. Jangankan 75%, dapatkan suara diatas 10% saja  sudah setengah mati, bahkan sampai jualan ayat dan fatwa segala, tetap aja suara mentok di bawah 10% di DPR,” kata nitizen.


“Kalau begitu, kenapa engga focus cari duit yang benar, kerja yang benar. Manjakan istri, sayangi anak dan orang tua. Kalau berlebih bantu sahabat dan tetangga. Kalau masih ada lebih lagi bantu anak yatim dan anak terlantar. Walau hanya gerakan kecil dan tidak mungkin jadi presiden dan berkuasa, tetapi di hadapan Tuhan kamu telah melaksanakan fungsi khalifah dalam diri kamu. Yaitu, menjadi sebaik baiknya dirimu dan berguna bagi orang lain. Bukankah, sebaik baiknya manusia itu di hadapan Tuhan, adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Artinya kalau ingin menyelesaikan dunia, selesaikan diri sendiri dulu. Damai itu berkah iman dan harus disukuri. Jangan karena sahwat kekuasaan dan onani membuat gaduh mempemalukan diri sendiri dan merusak ketentraman orang lain. Udah ya.”


Babo




Jumat, 09 Oktober 2020

BURUH DIUNTUNGKAN DNG UU CIPTA KERJA

 𝗗𝗔𝗛𝗟𝗔𝗡 𝗜𝗦𝗞𝗔𝗡

(𝗠𝗮𝗻𝘁𝗮𝗻 𝗠𝗲𝗻𝘁𝗿𝗶 𝗕𝗨𝗠𝗡) 


Saya selalu mengatakan bahwa RUU Cipta kerja, adalah RUU yang sangat menguntungkan Pengusaha dan Buruh/Pekerja, tapi tidak menguntungkan bagi beberapa pihak. Salah satunya adalah Organisasi Buruh. Mereka menolak sebelum RUU Cipta Kerja dirilis dan mereka semakin menolak ketika RUU Cipta Kerja telah dirilis. 


Ini murni untuk kepentingan organisasi buruh, sama sekali tidak ada kerugian bagi buruh. Buruh yang selama ini jadi objek bagi organisasi buruh dalam melakukan berbagai tindakan yang selain merugikan buruh juga merugikan perekonomian negara, kini tidak lagi bisa mereka jadikan objek. Buruh bukan lagi “anak buah” dan “tentara” Organisasi buruh. RUU ini mengembalikan porsi buruh sebagai orang yang bekerja mencari nafkah untuk memperjuangkan keluarga, buruh bukan lagi menjadi tentara dan anak buah organisasi buruh untuk melaksanakan kepentingan organisasi buruh.


Ini beberapa kewenangan organisasi buruh yang dicabut dalam RUU Cipta Kerja. Dan dengan dicabutnya kewenangan tersebut, mereka tidak bisa lagi menjadikan buruh sebagai anak buah dan tentara mereka. Ini penjelasannya: 


• Dalam Kesepakatan pengaturan dan penentuan pengupahan, keterlibatan Organisasi Buruh DIHAPUS, sehingga mereka tidak bisa lagi ikut campur dalam urusan kesepakatan upah antara buruh dan pengusaha. Karena selama ini mereka adalah pihak yang sering merusak kesepakatan tersebut (Pasal 91)


• Organisasi buruh sudah tidak boleh lagi menugaskan buruh untuk melakukan ini dan itu sehingga mengganggu jam kerja buruh. Selama ini buruh seperti anak buah dan tentara Organisasi Buruh. Mereka harus patuh melakukan apa yang diperintahkan oleh Organisasi buruh. Tindakan itu sangat merugikan buruh dan Pengusaha. RUU ini mengembalikan lagi buruh sebagai buruh bukan tentara atau anak buah Organisasi buruh (Pasal 93)


• Dalam urusan Pengupahan Nasional, Organisasi Buruh adalah pihak yang sangat merugikan karena mereka tidak mewakili buruh seluruh Indonesia dan terkesan memaksa, karena selalu dengan pengerahan masa dalam merumuskan sistem pengupahan nasional. Dalam RUU Cipta kerja, kewenangan Organisasi Buruh dalam MERUMUSKAN kebijakan Pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, DICABUT! Kini Organisasi buruh hanya diberi peran untuk memberikan saran dan pertimbangan saja, tidak lagi ikut merumuskan. Jadi tidak ada lagi pengerahan-pengerahan masa dan kengototan yang merugikan buruh dalam menentukan upah. Sehingga perumusan pengupahan itu bisa berjalan dengan normal tanpa ada kesan pemaksaan. Pemerintah tahu mana yang terbaik yang akan diputuskan sehingga tidak merugikan pengusaha dan buruh (Pasal 98)


• Organisasi buruh dalam keanggotaan di Dewan Nasional tidak lagi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Begitupun untuk keanggotaan organisasi buruh di Provinsi dan kabupaten/Kota, tidak lagi diangkat dan diberhentikan oleh kepala daerah. Sehingga tidak lagi merasa mereka adalah penentu dan yang berjasa atas kehidupan buruh. Ini yang membuat buruh akhirnya mau tidak mau menjadi tentara dan anak buah organisasi buruh. Karena merasa diperjuangkan, padahal itu merugikan buruh sendiri dan tentu ekonomi negara. (Pasal 98)


Peran Organisasi Buruh dalam Kesepakatan Pemutusan Hubungan Kerja DICABUT! Pemutusan Hubungan kerja dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan buruh, tidak boleh lagi ada campur tangan dari Organisasi Buruh. Karena banyak terjadi ketika pengusaha dan buruh sudah sepakat, Organisasi buruh yang tidak sepakat dan melakukan berbagai cara sehingga ujung-ujungnya masalah menjadi panjang dan buruh yang dirugikan. Kalau buruh yang dirugikan, Organisasi buruh angkat tangan. Banyak terjadi seperti itu. Selain itu peran organisasi buruh dalam perundingan dengan Pengusaha DICABUT! Jadi tidak ada kewenangan Organisasi buruh untuk melakukan perundingan dengan Pengusaha. (Pasal 151)


#SalamWaras

#LawanHoax



Apakah sudah beralih KADRUN

 Jurnalisme Provokatif Ala Najwa Shihab


Oleh:

Rudi S Kamri


Dalam kasus kursi kosong Mata Najwa, menurut saya Najwa Shihab masih di jalur jurnalisme profesional. Model interview kursi kosong hanyalah sebuah strategi biasa seorang jurnalis yang sedang berusaha cari rating dan cari perhatian. Makanya saya dari awal saya tidak setuju pada saat ada sekelompok orang melaporkan Najwa Shihab ke Polisi apalagi membawa-bawa kelompok relawan Jokowi. Sangat tidak relevan dan saya prediksi pasti ditolak. Dan dugaan saya terbukti, laporan polisi para relawan Jokowi ditolak Polda Metro Jaya karena tidak relevan dan relawan Jokowi bukan obyek yang dirugikan dalam kasus tersebut. Apalagi relawan Jokowi bukan representasi dari Terawan dan Terawan juga bukan representasi dari Jokowi.


Tapi dalam kasus respons terhadap penanganan pandemi Covid-19 dan  UU Cipta Kerja, jurnalisme Najwa Shihab sudah mengarah pada gaya provokatif dan memihak. Jadi saya sangat bersorak pada saat Najwa Shihab dihardik dengan keras oleh Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Seharusnya menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju punya keberanian dan nyali kuat seperti LBP. Bukan bermental 'chicken' alias ayam sayur. Menteri-menteri di Kabinet Indonesia Maju harus gigih dan kuat melindungi kewibawaan dan kehormatan Presiden Jokowi. Dan hal ini telah dengan keren dilakukan oleh LBP.


Pun pula dalam kasus UU Omnibuslaw Cipta Kerja. Sayangnya wakil dari Kabinet Indonesia Maju yang tadi malam (Rabu, 07/10/2020) datang di Mata Najwa terlalu lunak, normatif dan santun menghadapi narasi provokatif Najwa Shihab. Intensi provokatif Najwa Shihab yang ingin menyudutkan DPR dan Pemerintah tidak bisa dilawan hanya oleh seorang menteri unyu-unyu seperti Bahlil Bahdila dan Supratman. Harusnya yang datang bicara adalah Menteri

petarung seperti LBP dan anggota DPR sekelas Adian Napitupulu. LBP dan Adian Napitupulu bisa menjelaskan dengan keras bukan hanya soal teknis masalah yang dibahas, tapi juga bisa menjelaskan ekosistem komprehensif dari masalah tersebut. Dan gaya narasi LBP dan Adian bisa menekan gaya arogan Najwa Shihab.


Tapi harus saya akui, semakin hari gaya jurnalisme Najwa Shihab semakin jumawa dan tidak obyektif lagi. Ada nuansa kepentingan pribadi dan kelompok yang sedang diperjuangkan. Najwa Shihab sudah tidak murni lagi sebagai seorang interviewer yang obyektif dan tidak memihak. Sekeras- kerasnya Karni Ilyas dan Rosiana Silalahi, mereka tidak kentara keberpihakannya dalam suatu kasus. Mereka secara pribadi masih berusaha keras bertindak obyektif sebagai 'wasit' dalam suatu wawancara. Tapi kalau Najwa Shihab sudah mengarah menjadi 'Pemain Pendukung' kubu di luar Pemerintah. Jadi sudah pasti dia sangat provokatif menyerang Pemerintah dan memfasilitasi serangan para lawan Pemerintah.


Dalam era demokrasi yang kebablasan ala Indonesia saat ini, apa yang dilakukan Najwa Shihab adalah sebuah pilihan. Kita tidak boleh mempersalahkan atau mempermasalahkan. Biarkan saja. Saat ini kita hanya perlu tahu bahwa warna Mata Najwa bukan lagi sebuah jurnalisme obyektif tapi lebih cenderung provokatif. Salah satu saran saya adalah, Tim Komunikasi Kabinet Indonesia Maju harus ditata ulang. Jangan Menteri yang lunak, gaya narasi terlalu sopan dan kurang agresif yang diterjunkan ke arena wawancara media publik, khususnya TV. Harus diterjunkan Menteri petarung yang bisa keras untuk melawan jurnalisme provokatif. LBP salah satu yang bisa diandalkan. "Menyerang adalah pertahanan terbaik" harus dijadikan tagline Tim Komunikasi Kabinet Indonesia Maju. Bukan gaya pemadam kebakaran.


Bagaimana dengan netizens dan rakyat jelata seperti kita? Cara meredam permainan jurnalisme provokatif ala Najwa Shihab mudah, hanya cukup dengan jemari jempol kita. Tekan remote control dan ganti channel TV dan YouTube kita, jangan lagi menonton wajah tengil Najwa Shihab. So simple.


Satu hal lagi, kita masih banyak pilihan untuk mencari referensi tayangan TV lain yang lebih berkualitas dan obyektif untuk menambah wawasan kita. Yang jelas bukan Narasi atau Mata Najwa, kan?


Salam SATU Indonesia

08102020




Kamis, 08 Oktober 2020

HOAX DIJADIKAN FITNAH OLEH KAUM KADRUN

 Omnibus Law dan rasionalitas.


By Babo EJB


Kalau anda jadi pengusaha dan Perusahaan anda berencana berinvestasi dalam skala besar di Indonesia, maka anda harus berhadapan dengan rimba perizinan. Sangking padatnya, rimba itu menutupi pandangan ke langit. Kalau anda tidak hati hati, di rimba itu anda bisa kena mangsa binatang buas, dan tersesat. Begitu gambaran tentang panjang dan rumitnya perizinan di Indonesia. Tetapi kalau panjang dan rumitnya perizinan itu dilaksanakan dengan standar skill da moral yang hebat dari birokrat, tidak ada masalah. Toh bagaimanapun semua perizinan itu adalah standar kepatuhan bagi kepentingan negara. Yang jadi masalah, standar moral dan skill aparat rendah dan lebih banyak untuk kepentingan pribadi dapatkan suap.


Engga percaya? Mari kita lihat dan telusuri perizinan yang sangat basic. Katakanlah anda ingin membuka usaha kawasan Industri. Itu hanya perlu izin lokasi dan kemudian bangun kawasan berserta fasilitasnya. Sederhananya anda beli lahan sesuai izin lokasi, kemudian bangun. Selesai. Tetapi dalam proses yang ada, engga sesederhana itu. Pertama anda harus dapatkan izin dari BKPM. Kemudian izin dari BKPM itu harus ditindak lanjuti ke tingkat Daerah dan instansi terkait. Karena berdasarkan UU, hak tanah ada pada daerah. Anda harus dapatkan izin lokasi dari Pemda. Hak Pemda pun  berjenjang dari tingkat 1 sampai tingkat 2. Semua harus anda lewati. Bayangin, izin BKPM tidak menjamin otomatis anda berhak mendapatkan izin lokasi. Semua tergantung Daerah. Ada biaya resmi dan  proses loby yang tidak murah.


Lucunya setelah berlelah mendapatkan izin lokasi, mau bebaskan tanah silahkan saja. Tetapi belum ada jaminan bisa langsung bangun. Anda masih harus dapatkan lzin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH). Mau berbahaya atau tidak usaha anda wajib dapat izin PPLH. Kalau bersinggungan langsung dengan alam maka urusannya lebih runyam lagi. Yang sederhana saja seperti bangun kawasan perkantoran atau pabrik,  itu ada 11 lapis izin PPLH yang harus anda dapatkan. Urusannya dari tingkat Menteri sampai ke tingkat Bupati. Kadang walau izin PPLH sudah didapat, tidak ada jaminan anda aman. Masih ada lagi ancaman yang bisa batalkan izin itu. Apa? LSM. Mereka bisa kerahkan aksi demo  sampai ke pengadilan menentang pendirian proyek. Kalau kalah di pengadilan, itu derita anda. Pemerintah yang kasih izin, hanya bilang maaf. 


Ok, lanjut. Katakanlah izin PPLH sudah di tangan. Apakah anda bisa langsung bangun? Belum. Masih ada lagi izin IMB. Izin ini mengharuskan anda melampirkan design bangunan untuk menentukan besaran biaya retribusi yang harus dibayar. Dan kalau Design dan layout dianggap tidak sesuai dengan RTRW, ya IMB tidak diberikan. Soal izin lain sudah di tangan tidak ada pengaruhnya. Anda silahkan gunakan izin yang ada tetapi engga boleh dirikan bangunan. Konyol ya. Begitulah logika perizinan. Satu sama lain saling sandera. Sehingga proses prizinan adalah juga proses distribusi kekuasaaan dari RT, Pemda sampai ke Menteri. Semua ada ongkosnya.


Kalau semua izin sudah di tangan. Dan anda siap bekerja. Ada lagi masalah. Terutama kalau anda beli mesin dari luar negeri yang butuh Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk instal mesin atau anda berkerja sama dengan asing. Dapatkan izin bagi TKA juga tidak mudah. Anda harus mendapatkan izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Proses mendapatkan izin lumayan rumit. Anda harus mengantongi beberapa perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Bayangin ajak kalau TKA ada ratusan. Betapa repotnya urus izin masing masing mereka. Kalaupun lolos semua izin itu, belum tentu aman bagi TKA. Karena masih bisa diributin sama Buruh lokal. Masih bisa diributin sama Aktifis atau ormas buruh. Selama ribut itu sudah pasti proses produksi terganggu. 


Setelah usaha berdiri dengan mengantongi izin ini dan itu, anda juga harus menghadapi ketentuan mengenai perburuhan. Ini sangat sensitip. Karena buruh adalah juga mesin politik bagi para politisi. Jadi kapan saja bisa meledak membuat semua izin tidak ada artinya. Kalau anda menerima pekerja, maka anda tidak bisa pecat buruh tanpa mereka setuju. Hebat engga?. Gimana kalau pekerjaan sudah selesai atau adanya perubahan alur produksi sehingga perlu pengurangan  buruh. Itu engga ada urusan. Mereka engga mau diberhentikan, anda engga bisa pecat. Tetap harus bayar. Kalau akhirnya sengketa di pengadilan, anda engga bisa atur Hakim, pejabat pemerintah, Serikat pekerja dan bayar lawyer, siap siap aja dipanggang oleh mereka. Artinya lagi lagi harus keluar uang kalau ingin selamat.


Belum lagi soal ketentuan UMR. Itu bisa setiap tahun naik tanpa peduli produktifitas naik atau engga. Serikat Pekerja juga berpengaruh menentukan jam kerja lembur. Jadi anda engga bisa seenaknya mengatur jam lembur walau produksi mengharuskan peningkatan jam kerja. Kalau anda pecat atau berakhir kontrak kerja, anda harus bayar uang pesangon. Engga mau? siap siap diributin  serikat pekerja. Siap siap perang di pengadilan. Hampir semua pengusaha stress dengan ulah pekerja ini. Apalagi kalau mereka bandingkan dengan China dan Vietnam. Uh. bisnis di Indonesia itu bukan cari uang tetapi cari masalah.


Kalau anda pernah berinvestasi di Luar negeri katakanlah di Vietnam, Malaysia atau Thailand, anda akan bilang seperti cerita awal tulisan saya. Perizinan di Indonesia seperti rimba belantara. Di dalamnya ada pemangsa. Bisa membuat anda tersesat dan frustasi. Pertanyaannya adalah mengapa anda harus masuk rimba belantara? kalau ada banyak pilihan. Apalagi sudah ada kerjasama regional bidang investasi dan perdagangan. Artinya kalau anda butuh bahan baku dari Indonesia, anda tidak perlu bangun pabrik di Indonesia. Karena sudah ada ME- Asean, Bangun di Vietnam atau negara ASEAN lainnya, soal tarif sama saja dengan indonesia.Saat sekarang kerjasama regional bukan hanya diantara negara ASEAN, tetapi juga ada China Free Trade Asean, Korea Free Trade Asean, Jepang Free Trade Area, APEC, Indo Pacific.


Nah keberadaan UU Omnibus law bertujuan untuk memangkas perizinan sehingga ramah bagi investor. Sebetulnya pemangkasan itu bukan berarti kekuasaan pemerintah berkurang dan terkesan memanjakan pengusaha. Tetapi lebih kepada aturan yang rasional dengan prinsip good governance. Contoh, kalau sudah ada Izin lokasi, untuk apa lagi ada izin IMB dan PPLH. Karena bukankah izin  lokasi itu diberikan  atas dasar Rencana Tata Ruang Wilayah?. Artinya by design pemerintah sudah memperhatikan semua aspek ketika menentukan RTRW. Aspek peruntukan lahan, sampai kepada PPLH. Itu sebabnya UU Omnibus law menghapus izin IMB. Khusus PPLH hanya untuk usaha yang sangat berbahaya, seperti Industri smelter dan bahan kimia.


Berkaitan dengan tenaga kerja, tidak bisa menempatkan perusahaan dalam posisi equal dengan karyawan. Karena resiko ada pada perusahaan dan secara organisasi perusahaan punya sistem pembinaan terhadap buruh dan pekerja. Apa jadinya kalau posisi karyawan setara dengan perusahaan?  Jelas upaya pembinaan engga akan efektif. System reward & punishment engga jalan. Lah gimana mau jalan? Karyawan dan boss equal. Itu sebabnya UU Omnibus memberikan hak kepada Perusahaan memberhentikan pekerja kalau pekerjaan sudah selesai. artinya, jangka waktu kontrak kerja berada di tangan pengusaha. UU Omnibus law ini sangat rasional, bahwa perusahaan tidak bayar orang tetapi bayar kerjaan atau produktifitas. Kalau engga ada produktifitas ya sorry saja. Mending keluar. Silahkan ambil uang pesangon. Masih banyak di luar sana yang mau kerja serius.


Soal UMR itu dasarnya adalah tingkat pertumbuhan ekonomi daerah. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi daerah semakin tinggi UMR. Itu wajar saja. Karena pertumbuhan ekonomi biasanya dipicu oleh inflasi dan tentu dampaknya harga akan naik. Sebelumnya UMR ditetapkan sesuka PEMDA tanpa memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Jusru itu tidak adil dari sisi pekerja maupun Pengusaha. Dan lagi UMR itu hanya patokan minimal saja. Bukan keharusan jumlahnya sebesar itu. Kalau memang buruh itu produktifitasnya tinggi, tentu perusahaan akan bayar upah lebih tinggi dari UMR. Di mana mana pengusaha juga ingin jadikan buruh itu sebagai asset bernilai meningkatkan pertumbuhan usaha. Jadi egga perlu terlalu kawatir. Sebaiknya focus aja bagaimana meningkatkan produktifitas.


UU Omibus law juga memangkas perizinan untuk TKA. Sangat sederhana yaitu kalau perusahaan sudah dapat izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) ya sudah. Dia tinggal datangkan TKA. Selagi tidak melanggar RPTKA, pekerja asing engga perlu repot lagi dapatkan berbagai izin. Mengapa? dalam RPTKA itu sudah ada standar kepatuhan yang harus dipenuhi perusahaan seperti kriteria TKA, upah dan lain lain. Secara berkala akan ada audit dari pemerintah terhadap penerapan RPTKA. Kalau mereka melanggar ya izin dicabut. 


Menurut saya, UU Omnibus law ini bukan berarti Jokowi anti demokrasi atau anti otonomi daerah. Tetapi sebagai solusi agar Indonesia berubah. Dari birokrasi menjadi meritokrasi. Dari dilayani menjadi melayani. Mengapa? itu sebagai jawaban atas tantangan global yang semakin terbuka dan berkompetisi. Tanpa itu, sulit bagi kita mendatangkan investasi. Tanpa investasi pertumbuhan ekonomi akan lambat dan tentu semakin besar masalah sosial dan politik yang dihadapi bangsa ini akibat pengangguran dan kemiskinan. Memang UU Omnibus law ini tidak segera bisa dirasakan. Namun langkah besar untuk perubahan pasti akan membuahkan hasil baik











Rabu, 07 Oktober 2020

Youtuber viral

Vir

BUKTI TERBARU DALANG PKI

 Oleh : Ahmad Yanuana Samantho

Kesaksian mantan Menteri Pengairan Dasar zaman Orde Lama Harya Sudirja bahwa Bung Karno menginginkan Menpangad Letjen Achmad Yani menjadi Presiden kedua bila kesehatan Proklamator itu menurun, ternyata sudah lebih dahulu diketahui isteri dan putra-putri pahlawan revolusi tersebut.

“Bapak sendiri sudah cerita kepada kami (isteri dan putra-putri Yani) bahwa dia bakal menjadi Presiden.Waktu itu Bapak berpesan, jangan dulu bilang sama orang lain”, ujar putra-putri Achmad Yani : Rully Yani, Elina Yani,Yuni Yani dan Edi Yani – Sebelumnya diberitakan dalam acara diskusi “Jakarta – Forum Live, Peristiwa G 30 S/PKI, Upaya Mencari Kebenaran” terungkap kesaksian baru, yaitu beberapa hari sebelum peristiwa kelam dalam sejarah republik ini meletus, Bung Karno pernah meminta Menpangad Letjen Achmad Yani menggantikan dirinya menjadi presiden bila kesehatan proklamator itu menurun.

Kesaksian tersebut disampaikan salah satu peserta diskusi: Harya Sudirja. Menurut mantan Menteri Pengairan Dasar zaman Orde Lama ini, hal itu disampaikan oleh Letjen Achmad Yani secara pribadi pada dirinya dalam perjalanan menuju Istana Bogor tanggal 11 September 1965. Putra-putri Achmad Yani kemudian menjelaskan, kabar baik itu sudah diketahui pihak keluarga 2 (dua) bulan sebelum meletusnya peristiwa berdarah G-30S/PKI. “Waktu itu ketika pulang dari rapat dengan Bung Karno beserta para petinggi negara, Bapak cerita sama ibu bahwa kelak bakal jadi presiden”, kenang Yuni Yani, putri keenam Achmad Yani. “Setelah cerita sama ibu, esok harinya sepulang main golf, Bapak juga menceritakan itu kepada kami putra-putrinya. Sambil tertawa, kami bertanya, “Benar nih Pak?” Jawab Bapak ketika itu, “Ya”, ucapnya. Menurut Yuni, berita baik itu juga mereka dengar dari ajudan Bapak yang mengatakan Bapak bakal jadi presiden. Makanya ajudan menyarankan supaya siap-siap pindah ke Istana.

Sedangkan menurut Elina Yani (putri keempat), saat kakaknya Amelia Yani menyusun buku tentang Bapak, mereka menemui Letjen Sarwo Edhie Wibowo sebagai salah satu nara sumber. “Waktu itu, Pak Sarwo cerita bahwa Bapak dulu diminta Bung Karno menjadi presiden bila kesehatan Proklamator itu tidak juga membaik. Permintaan itu disampaikan Bung Karno dalam rapat petinggi negara. Di situ antara lain, ada Soebandrio, Chaerul Saleh dan AH Nasution”, katanya. “Bung Karno bilang, Yani kalau kesehatan saya belum membaik kamu yang jadi Presiden”, kata Sarwo Edhie seperti ditirukan Elina.

Pada prinsipnya, tambah Yuni pihak keluarga senang mendengar berita Bapak bakal jadi Presiden. Namun ibunya (Alm.Nyonya Yayuk Ruliah A.Yani) usai makan malam membuat ramalan bahwa kalau Bapak tidak jadi presiden, bisa dibunuh. “Ternyata ramalan ibu benar. Belum sempat menjadi presiden menggantikan Bung Karno, Bapak dibunuh secara kejam dengan disaksikan adik-adik kami. Untung dan Eddy. “Kalau Bapakmu tidak jadi presiden, ya nangendi (bahasa Jawa artinya :kemana) bisa dibunuh”, kata Nyonya Yani seperti ditirukan Yuni. Lalu siapa pembunuhnya ?

Menurut Yuni, Ibu dulu mencurigai dalang pembunuhan ayahnya adalah petinggi militer yang membenci Achmad Yani. Dan yang dicurigai adalah Soeharto. Mengapa Soeharto membenci A.Yani ? Yuni mengatakan,sewaktu Soeharto menjual pentil dan ban yang menangkap adalah Bapaknya. “Bapak memang tidak suka militer berdagang.Tindakan Bapak ini tentunya menyinggung perasaan Soeharto”.

“Selain itu, usia Bapak juga lebih muda, sedangkan jabatannya lebih tinggi dari Soeharto”, katanya. Sedangkan Rully Yani (putri sulung) yakin pembunuh Bapaknya adalah prajurit yang disuruh oleh atasannya.”Siapa orangnya, ini yang perlu dicari”, katanya. Mungkin juga, lanjutnya, orang-orang yang tidak suka terhadap sikap Bapak yang menentang upaya mempersenjatai buruh, nelayan dan petani. “Bapak dulu kan tidak suka rakyat dipersenjatai.

Yang bisa dipersenjatai adalah militer saja”, katanya. Menurut dia, penjelasan mantan tahanan politik G 30 S/PKI Abdul Latief bahwa Soeharto dalang G 30 S/PKI sudah bisa menjadi dasar untuk melakukan penelitian oleh pihak yang berwajib. “Ini penting demi lurusnya sejarah. Dan kamipun merasa puas kalau sudah tahu dalang pembunuhan ayah kami”, katanya.

Dia berharap, kepada semua pelaku sejarah yang masih hidup bersaksilah supaya masalah itu bisa selesai dengan cepat dan tidak menjadi tanda tanya besar bagi generasi muda bangsa ini. Kesaksian istri dan putra-putri A.Yani bahwa Bapaknyalah yang ditunjuk Bung Karno untuk jadi Presiden kedua menggantikan dirinya, dibenarkan oleh mantan Asisten Bidang Operasi KOTI (Komando Operasi Tertinggi), Marsekal Madya (Purn) Sri Mulyono Herlambang dan ajudan A.Yani, Kolonel (Purn) Subardi.

Apa yang diucapkan putra-putri Jenderal A.Yani itu benar. Dikalangan petinggi militer informasi tersebut sudah santer dibicarakan. Apalagi hubungan Bung Karno dan A.Yani sangat dekat, ujar Herlambang. Baik Herlambang maupun Subardi menyebutkan, walaupun tidak terdengar langsung pernyataan Bung Karno bahwa dia memilih A.Yani sebagai Presiden kedua jika ia sakit, namun keduanya percaya akan berita itu.

“Hubungan Bung Karno dengan A.Yani akrab dan Yani memang terkenal cerdas, hingga wajar jika kemudian ditunjuk presiden”, kata Herlambang. “Hubungan saya dengan A.Yani sangat dekat, hingga saya tahu betapa dekatnya hubungan Bung Karno dengan A.Yani”, ujar Herlambang yang saat ini sedang menyusun buku putih peristiwa G 30 S/PKI. Menyinggung tentang kecurigaan Yayuk Ruliah A.Yani (istri A.Yani), bahwa dalang pembunuh suaminya adalah Soeharto, Herlambang mengatakan bisa jadi seperti itu. Pasalnya 2 (dua) bulan sebelum peristiwa berdarah PKI, Bung Karno sudah menunjuk A.Yani sebagai penggantinya.

Tentu saja hal ini membuat iri orang yang berambisi jadi presiden.Waktu itu peran CIA memang dicurigai ada, apalagi AS tidak menyukai Bung Karno karena terlalu vokal. Sedangkan Yani merupakan orang dekat Bung Karno. Ditambahkan Herlambang, hubungan A.Yani dengan Soeharto saat itu kurang harmonis. Soeharto memang benci pada A.Yani. Ini gara-gara Yani menangkap Soeharto dalam kasus penjualan pentil dan ban. Selain itu Soeharto juga merasa iri karena usia Yani lebih muda, sementara jabatannya lebih tinggi.

Terlebih saat A.Yani menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Bung Karno meningkatkan status KASAD menjadi Panglima Angkatan Darat. “Dan waktu itu A.Yani bisa melakukan apa saja atas petunjuk Panglima Tertinggi Soekarno, tentu saja hal ini membuat Soeharto iri pada A.Yani. Dijelaskan juga, sebenarnya mantan presiden Orde Baru itu tidak hanya membenci A.Yani,tapi semua Jenderal Pahlawan Revolusi. D.I.Panjaitan dibenci Soeharto gara-gara persoalan pengadaan barang dan juga berkaitan dengan penjualan pentil dan ban. Sedangkan kebenciannya terhadap MT. Haryono berkaitan dengan hasil sekolah di SESKOAD. Disitu Soeharto ingin dijagokan tapi MT.Haryono tidak setuju. Terhadap Sutoyo, gara-gara ia sebagai Oditur dipersiapkan untuk mengadili Soeharto dalam kasus penjualan pentil dan ban itu.

Menurut Subardi, ketahuan sekali dari raut wajah Soeharto kalau dia tidak menyukai A.Yani. Secara tidak langsung istri A.Yani mencurigai Soeharto. Dicontohkan, sebuah film Amerika yang ceritanya AD disuatu negara yang begitu dipercaya pemerintah, ternyata sebagai dalang kudeta terhadap pemerintahan itu. Caranya dengan meminjam tangan orang lain dan akhirnya pimpinan AD itulah yang menjadi presiden. “Peristiwa G-30S/PKI hampir sama dengan cerita film itu”, kata Nyonya Yani seperti ditirukan Subardi.

Catatan penulis:

Saya ambil artikel ini dari berbagai sumber dan milis-milis dengan harapan klarifikasi dari para pembaca yang budiman. Sampai saat ini masih menggelayut pertanyaan di setiap kepala rakyat Indonesia tentang bagaimana fakta yang sebenarnya dari peristiwa kelam ini. Masih ada tokohtokoh dan narasumber dari kisah kelam sejarah masa lalu ini yang masih hidup.

Disinilah perlunya penuntasan 100% dan jawaban yang adil dan penyelidikan yang transparan bagi masalah yang menyangkut peristiwa G 30 S. Masih diperlukan penyelidikan lanjutan yang independen untuk menyingkap fakta-fakta seputar sejarah kelam ini.

Dalam pembelaannya, Kol. Latief menyatakan, bahwa tidak ada maksud untuk membunuh para jendral, tetapi hanya ingin menghadapkannya kepada Presiden Soekarno untuk mengklarifikasi tentang adanya berita tentang rencana kudeta oleh Dewan Jendral yang akan dilakukan pada tgl 5 Oktober 1965. Belakangan terungkap, bahwa yang menyuruh agar membunuh para jendral ternyata Komandan pasukan yang bernama Doel Arif.

Lettu Doel Arif adalah tokoh yang bertanggung jawab dalam menangkap jenderal jenderal Angkatan Darat yang diduga akan membentuk Dewan Jenderal dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sebagai komandan Pasukan Pasopati yang menjadi operator G30S, ia adalah tokoh kunci. Ia bertanggung jawab terhadap operasi penculikan jenderal-jenderal pimpinan AD.

Belakangan terungkap, bahwa Doel Arif adalah seorang kepercayaan, malah dibilang anak kesayangan Ali Murtopo. Dan Ali Murtopo bersama Yoga Sugama adalah dua tokoh utama yang bersama Soeharto sebagai Trio (Soeharto-Ali Murtopo-Yoga Sugama) yang berperan menentukan dalam setiap langkah Suharto dalam melancarkan kudeta merangkak, dengan dukungan Blok Barat dibawah pimpinan CIA /AS menggulingkanpemerintahan Presiden Sukarno. Nasib Lettu Doel Arief, yang ditangani langsung oleh Ali Moertopo, hilang bak ditelan bumi, sampai sekarang tidak ada yang tahu.

Kenapa Soeharto pantas diduga sebagai dalang dibalik G 30 S ?

Pada tanggal 21 September 1965, Kapten Soekarbi mengaku menerima radiogram dari Soeharto yang isinya perintah agar Yon 530 dipersiapkan dalam rangka HUT ABRI ke- 20 pada tanggal 5 Oktober 1965 di Jakarta dengan perlengkapan tempur garis pertama.

Setelah persiapan, pasukan diberangkatkan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 25, 26 dan 27 September.

Pada tanggal 28 September pasukan diakomodasikan di kebun Jeruk bersama dengan Yon 454 dan Yon 328. Tanggal 30 September seluruh pasukan melakukan latihan upacara. Pukul tujuh malam semua Dan Ton dikumpulkan untuk mendapatkan briefing dari Dan Yon 530, Mayor Bambang Soepono. Dalam briefing tersebut disebutkan bahwa Ibu kota Jakarta dalam keadaan gawat. Ada kelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan RI yang sah. Briefing berakhir pada pukul 00.00. Pukul dua pagi tanggal 1 Oktober, Kapten Soekarbi memimpin sisa Yon 530 menuju Monas. Di kompleks Monas mereka berkedudukan di depan istana. Pada saat itu, karena kedudukan mereka dekat Makostrad, pasukan pun sering keluar masuk Makostrad untuk ke kamar kecil. Karena tidak ada teguran dari Kostrad, berarti Kostrad tahu bahwa mereka ada di sana.

Pukul setengah delapan Kapten Soekarbi melapor pada Soeharto tentang keadaan ibu kota yang gawat serta adanya isu Dewan Jenderal. Namun Soeharto menyangkal berita tersebut.

Kapten Soekarbi sendiri mengaku tidak mengetahui terjadinya penculikan para Jenderal. Ia tetap merasa aman karena Pangkostrad Soeharto telah menjamin keadaan tersebut. Namun ia berpendapat bahwa Soeharto pasti lah tahu tragedi penculikan para Jenderal tersebut. Karena pada tanggal 25 September Kolonel Latief telah memberikanmasukan tentang keadaan yang cukup genting tersebut kepada Soeharto. Jadi sebenarnya mustahil apabila Soeharto tidak mengetahui tragedi tersebut.

Yang patut dipertanyakan lagi adalah mengapa Soeharto tidak melakukan pencegahan terjadinya tragedi tersebut. Kebiasaan dalam militer, apabila ada gerakan yang disinyalir akan membunuh atasan akan langsung dicegah. Namun kenyataanya Soeharto tidak sedikit pun mengambil sikap. Padahal apabila ditelusur ia sangat mampu mencegah kejadian tersebut. Pada saat itu, mereka sedang mempersiapkan HUT ABRI. Kostradlah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan acara tersebut. Jadi semua pasukan di Jakarta berada di bawah kendali Kostrad. Seharusnya Soeharto bisa memerintahkan pasukan untuk mencegahnya.

Dalam cerita versi Soeharto dan Orde Baru disebutkan terdapat pasukan liar di sekitar Monas. Kesaksian Kapten Soekarbi juga mematahkan pernyataan tersebut. Soeharto sendiri yang mengirimkan radiogram pada Kapten Soekarbi untuk mendatangkan pasukannya ke Jakarta. Tentunya ia mengenali pasukan siapa yang berada di Monas kala itu. Kostrad pun mengetahui kehadiran Yon 530. Namun pada kenyataannya Soeharto membiarkan pernyataan yang mengatakan bahwa terdapat pasukan liar pada saat itu.

Kejanggalan lain tampak dalam beberapa pengakuan Soeharto adalah pengakuan dan perkiraannya tentang kedatangan Kolonel Latief saat menjengu anaknya, Tomy Soeharto di Rumah Sakit Gatot Subroto. Dalam versinya ia hanya mengaku hanya melihat Kolonel Latief di zaal dimana anaknya dirawat. Namun kejadian yang sebenarnya adalah mereka sempat berbincang-bincang. Pada saat itu Kolonel Latief melaporkan bahwa besok pagi akan ada tujuh jenderal yang akan dihadapkan pada presiden. Namun pada saat itu Soeharto tidak bereaksi. Ia hanya menanyakan siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Tapi dari hasil wawancara Soeharto dengan seorang wartawan Amerika, ia mengatakan”...Kini menjadi jelas bagi saya, bahwa Latief ke rumah sakit malam itu bukan untuk menengok anak saya, melainkan sebenarnya untuk mengecek saya. Rupanya ia hendak membuktikan kebenaran berita, sekitar sakitnya anak saya..."

Sedangkan dalam majalah Der Spiegel (Jerman Barat) Soeharto berkata.”Kira-kira jam 11 malam itu, Kolonel Latief dan komplotannya datang ke Rumah Sakit untuk membunuh saya, tetapi tampaknya ia tidak melaksanakan berhubung kekhawatirannya melakukan di tempat umum.” Dengan demikian ada tiga versi yang dikeluarkan oleh Soeharto sendiri tentang pertemuannya dengan Kolonel Latief. Hal ini sangatlah memancing kecurigaan bahwa Soeharti hanyalah mencari alibi untuk menghindari tanggung jawabnya.

Penyajian adegan penyiksaan ke enam jenderal dalam film G 30 S/PKI ternyata juga dapat digolongkan sebagai salah satu kejanggalan cerita versi Soeharto. Serka Bungkus adalah anggota Resimen Cakrabirawa. Pada saat itu ia mendapat tugas ”menjemput” M.T Haryono. Ia turut menyaksikan pula penembakan keenam Jenderal di Lubang Buaya. Ia menyatakan bahwa proses pembunuhan keenam Jenderal tidak melalui proses penyiksaan seperti pada film G 30 S/PKI. Satu per satu Jenderal dibawa kemudian duduk di pinggir lubang setelah itu ditembak dan akhirnya masuk ke dalam Lubang. Serka Bungkus mengetahui adanya visum dari dokter yang menyatakan tidakada tindak penganiayaan. Namun sepengetahuannya Soeharto melarang mengumumkan hal itu.

Selain itu salah satu dokter yang melakukan visum, Prof. Dr. Arif Budianto juga menyatakan bahwa tidak ada pelecehan seksual dan pencongkelan mata seperti yang ditayangkan dalam film. Memang pada saat dilakukan visum ada mayat dengan kondisi bola matanya ’copot’. Tapi hal itu terjadi karena sudah lebih dari tiga hari terendam bukan karena dicongkel paksa. Karena di sekitar tulang mata pun tidak ada bagian yang tergores.

Tentu kita tidak dapat menduga-duga apa tujuan dan motif Soeharto menyembunyikan hasil visum. Dalam hal ini ia terkesan ingin memperparah citra PKI agar dugaan bahwa PKI lah yang ada di belakang tragedi ini semakin kuat. Kebencian masyarakat pada PKI pun akan memuncak dengan melihatnya.

Satu hal yang paling menjadi kontroversi dari tragedi tersebut adalah banyaknya orang-orang yang dituduh mendukung PKI dan pada akhirnya dijebloskan ke penjara. Antara lain adalah Kolonel Latief, Letkol Heru Atmodjo, Kapten Soekarbi, Laksda Omar Dani, Mayjen Mursyid, dan masih banyak lagi. Kebanyakan dari mereka ditahan tanpa melalui proses peradilan. Orang- orang tersebut kebanyakan mengetahui bagaimana sebenarnya hal itu terjadi. Seperti contohnya Kapten Soekarbi. Ia ditahan setelah membuat laporan tentang kejadian yang ia alami pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965. Penahanan tanpa proses peradilan ini dapat disinyalir sebagaisebuah upaya yang dilakukan Soeharto agar saksi-saksi kunci tidak dapat menceritakan kejadian yang sesungguhnya pada khalayak. Ketakutan yang dialami Soeharto ini tentunya justru semakin memperkuat anggapan bahwa dialah dalang di balik peristiwa G 30 S/PKI

Copas




SAKASI SUPERSEMAR

 SAKSI SUPERSEMAR 



LetDa Soekardjo Wilardjito [ Pengawal Presiden Soekarno ]


Ingatan Soekardjo Wilardjito seketika melayang ke tahun 1966 hingga 1970-an. Peristiwa masa-masa itu terbayang di pelupuk matanya, ketika siksaan dan perlakuan tidak manusiawi dari "Rezim Soeharto" menimpa dirinya.


Mulai dari pukulan dg balok kayu, popor senjata, hingga puluhan kali disetrum di sekujur tubuhnya. Serta hukuman penjara selama 14 tahun tanpa melalui proses pengadilan atas tuduhan sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). 


”Jadi saya keberatan kalau dia (almarhum mantan Presiden Soeharto) diberi gelar Pahlawan Nasional. Mereka (yg mengusulkan gelar pahlawan) itu karena kebagian warisannya dan tidak pernah tahu penderitaan seperti yg saya alami, penderitaan bangsa,” tutur pria berusia 81 tahun ini ketika ditemui KR di rumahnya, Dusun Gancahan V Desa Sidomulyo Godean Sleman, Jumat (1/2).


Hingga sekarang pun tokoh yg menjadi Saksi Kontroversi turunnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) ini masih merasakan perlakuan tidak adil. 


Sejak ditangkap pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 yg kemudian dipenjarakan selama 14 tahun, ia tidak pernah menerima surat pemecatan maupun surat keputusan pensiun dari TNI AD, institusi tempat Wilardjito dulu mengabdi. 


Sehingga mestinya ia masih tercatat aktif sebagai anggota TNI. Namun baik tunjangan pensiun maupun gaji sebagai anggota TNI yg menjadi haknya tidak pernah diterima sejak peristiwa Supersemar itu.


Saat berbincang dg KR kemarin, keadaan Wilardjito tampak sehat. 

Daya ingatnya masih sangat bagus dan bicaranya lancar. 

Hanya saja kedua kakinya kurang berfungsi normal. 

Kendati kini harus menjalani sisa hidup jauh dari serba kecukupan, Wilardjito masih memiliki Jiwa Besar. 


”Selama 43 tahun hak² saya dibekukan. Saya tidak pernah mendendam. 

Tapi saya menuntut agar hak² saya yg hilang itu dikembalikan dan hukum diberlakukan sebagaimana mestinya,” kata suami dari Sih Wilujeng, yg telah meninggal 2001 silam.


Masa lalu pahit yg dialami Wilardjito bermula dari peristiwa Supersemar. 

Dikisahkan, pada tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 WIB saat bertugas sebagai penjaga keamanan istana Presiden RI, ia kedatangan empat orang petugas TNI. 


Masing-masing⤵️ 


1️⃣ M Yusuf, 

2️⃣ Amir Machmoed, 

3️⃣ Basoeki Rachmat dan 

4️⃣ M Panggabean. 


Keempat orang tersebut ingin bertemu dg Presiden Soekarno untuk suatu urusan penting. Lalu Wilardjito yg saat itu berpangkat Letnan Dua, membangunkan Presiden Soekarno. Pertemuan berlangsung dan M Yusuf menyodorkan sebuah map kepada Presiden Soekarno. 


Masih menurut kesaksian Wilardjito, saat itu Presiden Soekarno tampak terkejut setelah membaca isi surat dalam map yg harus ditandatangani✍️ 


”Untuk membahasnya, waktunya sangat sempit. Paduka tandatangani saja,” kata Wilardjito menirukan ucapan Basoeki Rachmat saat itu. 


Pada saat yg sama, lanjut Wilardjito, "Basoeki Rachmat" menodongkan sebuah pistol ke muka Presiden Soekarno. Belakangan baru diketahui bahwa surat yg ditandatangani Presiden Soekarno secara paksa tersebut adalah "Supersemar".


Peristiwa menegangkan pada dini hari itu, rupanya berbuntut. Pada malam harinya, masih pada tanggal 11 Maret 1966 itu terjadi operasi besar²an yg dilakukan TNI AD di bawah komando Letjen Soeharto (mantan Presiden RI, almarhum). 


Semua orang yg bertugas di lingkungan Istana Presiden RI "diciduk", tak terkecuali Soekardjo Wilardjito.


Sejak saat itulah Wilardjito menjalani hidup dari penjara ke penjara dan mengalami siksaan. Kesaksian Wilardjito terhadap terbitnya Supersemar yg Kontroversial itu akhirnya terungkap media pada tahun 1998 setelah lengsernya Presiden Soeharto. 


Namun Wilardjito justru dituduh Menyebarkan Kabar Bohong dan berlanjut hingga ke Pengadilan.


Setelah melalui Proses Hukum, akhirnya Wilardjito bebas karena tidak cukup bukti. Tapi hingga kini kasus tersebut belum sepenuhnya tuntas karena masih menunggu Kasasi yg diajukan Jaksa


Senin, 05 Oktober 2020

FITNAH KEJI DARI KAUM KADRUN


 *Meluruskan Hoaks Omnibus Law Ciptaker yang Dihembuskan PKS* 


Seiring pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja atau UU Ciptaker, beredar konten viral di media viral yang berisi permintaah maaf PKS karena tidak bisa membatalkan pengesahan regulasi tersebut. Konten itu juga menyebut DPR dan pemerintah mengkhianati rakyat, karena UU Ciptaker disebut akan menyengsarakan dan membubuh rakyat sendiri. Benarkah? Tulisan ini akan mengulas poin-poin yang dipermasalahkan dalam konten viral tersebut.


*1. Penghapusan Pesangon, Upah Minimum, Hak Cuti, Jaminan Sosial, Status Karyawan Tetap*


Bagian ketiga dari UU Ciptaker membahas tentang *Jenis Program Jaminan Sosial* untuk tenaga kerja, yang terdiri dari: *Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Pensiun, Jaminan Kematian, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan.* Dari klausul ini saja, sudah jelas bahwa jaminan sosial dan pesangon untuk buruh tidak dihapuskan. 

Jika terjadi PHK, maka pengusaha diharuskan membayar *Pesangon* dan *Uang Penghargaan Masa Kerja* yang maksimal sebesar *19 kali upah* bulanan. Selain itu, pemerintah juga menyediakan insentif sebesar *6 kali upah* melalui Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.


Terkait upah minimum, UU Ciptaker juga mengaturnya pada pasal 88C. Beberapa ketentuan di antaranya: *upah minimum Kabupaten/ kota yang harus lebih tinggi dari Upah Minimum Provinsi, serta ketentuan yang melarang pengusaha membayar pekerja di bawah upah minimum.* Singkat kata, *tidak ada penghapusan upah minimum pada UU Ciptaker.*


Terkait penghapusan hak cuti, para *pemrotes mengalami sesat pikir yang fatal.* Mereka menduga bahwa cuti hamil dan melahirkan dihapus, sehingga pekerja yang mengambil cuti tidak memperoleh gaji. Ini salah besar, mengingat Omnibus Law Ciptaker hanya membahas pasal-pasal dalam UU terdahulu yang akan diubah atau diperbarui.

 

Ketentuan cuti hamil/melahirkan dan hak upah selama cuti diatur dalam *UU 13/2003 pasal 82 dan pasal 84.* Ketika dua pasal itu tidak dibahas dalam UU Ciptaker, berarti keduanya *tetap berlaku tanpa perubahan.* Di sinilah letak sesat pikirnya, karena pemrotes yang sok pintar itu mengira hak cuti dihapus, karena pasal 82 & 84 pada UU 13/2003 tidak dibahas dalam UU Ciptaker. 


Terkait penghapusan karyawan tetap, bisa dilihat pada pasal 56 yang menyebut perjanjian kerja bisa dibuat untuk waktu tertentu (pekerja kontrak) atau untuk waktu tidak tertentu (pekerja tetap). Bahkan, UU Ciptaker juga mengatur adanya jaminan kehilangan pekerjaan atau pesangon untuk pekerja kontrak. Ini justru lebih baik dari sebelumnya, di mana pekerja kontrak tidak memiliki ha katas pesangon.


*2. Penerapan PHK Sepihak, Status Tenaga Harian, Upah per Jam*


Ketentuan PHK diatur pada pasal 151, yang ayat (1) menyebut *Pengusaha, Pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah harus mengupayakan agar tidakterjadi pemutusan hubungan kerja.* Pada ayat (2) berikutny disebut *Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari maka maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.* Dan pada ayat (3) dan (4), diatur bahwa pekerja yang menolak PHK bisa melanjutkan ke menja perundingan bipartite, dan kalau masih buntu bisa melanjutkan ke mekanisme penyelesaian hubungan industrial. Intinya, PHK tetap dilakukan berdasar mekanisme bipartite dan PPHI, melibatkan kesepakatan buruh dan pengusaha, sama seperti sebelumnya. 

Adapun isu yang menyebut UU Ciptaker merubah status pekerja menjadi tenaga harian dan menerima upah berdasar hitungan jam, sama sekali tidak ada dalam UU Ciptaker. Entah konten yang mengatasnamakan PKS ini mendapat info itu. Sangat aneh kalau PKS yang terlibat dalam pembahasan RUU Ciptaker salah menafsirkan isi UU Ciptaker. Atau mereka menentang tanpa membaca naskah? Sungguh fatal. 


*3. Mempermudah Tenaga Kerja Asing dan Melarang Protes Buruh*


Terkait pekerja asing, pasa 42 UU Ciptaker secara tegas mengharuskan pemberi kerja untuk menyusun rencana penggunaan tenaga kerja asing, yang harus mendapat pengesahan oleh pemerintah. Dan tenaga kerja asing pun dilarang pada pemberi kerja perseorangan. *Tenaga kerja asing hanya boleh bekerja di Indonesia untuk jabatan tertentu dan dalam periode waktu tertentu sesuai kompetensinya, dan dilarang menduduki jabatan sebagai personalia.* Ketentuan ini sangat tegas membatasi pekerja asing di Indonesia, dan sungguh menggelikan kalau ada yang bilang UU Ciptaker membuat tenaga kasar asing bebas masuk Indonesia.


Adapun terkait protes buruh, jika terkait penolakan PHK sudah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa buruh bisa menempuh mekanisme bipartite atau jalur PPHI. Sementara protes buruh dengan cara mogok kerja diatur dengan pasal 137 UU 13/2003, yang tidak disinggung oleh UU Ciptaker. Artinya, hal itu masih bisa berlaku sesuai UU yang sudah ada.


*4. Menghapus Libur Hari Raya dan Mengurangi Istirahat Sholat Jumat*

Terkait jam istirahat, UU Ciptaker mengatur ketentuan minimal istirahat setengah jam setelah bekerja selama 4 jam, dan istirahat minimal satu hari dalam seminggu. Tidak ada aturan mengenai sholat jumat? Memang, karena aturan khusus mengenai jaminan melaksanakan ibadah untuk pekerja diatur pada UU 13/2003 pasal 80, yang menyebut *pengusaha wajib memberi kesempatan secukupnya kepada pekerja untuk melaksanakan ibadah* yang diwajibkan agamanya. 


Jaminan pelaksanaan ibadah, termasuk sholat jumat itu sudah ada dan tidak disuik oleh UU Ciptaker. Artinya, *peraturan yang sudah ada itu tetap berlaku tanpa diganggu gugat.* Adapun terkait libur hari raya, Omnibus Law juga tidak membahasnya dan tetap berlaku seperti peraturan yang sudah ada. 


Maka, jelas sudah bahwa poin-poin yang dipermasalahkan oleh konten viral yang mengatasnamakan PKS itu sama sekali tidak ada, alias hoaks. Sebaliknya, *UU Ciptaker memberi harapan baru akan dunia kerja yang lebih fair dan kompetitif.* Jika benar konten itu berasal dari PKS, dapat disimpulkan bahwa *PKS hanya sedang mencari muka.* Mereka menarasikan seolah UU Ciptaker adalah kiamat bagi para pekerja, dan mereka minta maaf karena tidak berhasil membatalkannya. Tujuannya, *agar orang-orang tidak paham tentang UU Ciptaker itu bersimpati pada PKS, lalu mencoblosnya pada pemilu mendatang, serta memilih calon-calon mereka pada Pilkada yang makin dekat ini.* Itulah politik, yang tujuannya bukan menyampaikan kebenaran tapi hanya mencari kemenangan.

Awas DI/TII mengkambing hitamkan PKI untuk menyembunyikan perbuatanya


 BIN DAN ISU PKI ALAT PROPAGANDA PENGASONG KHILAFAH UNTUK HANCURKAN NKRI


Banyak yang tidak paham. Penyebaran isu PKI dengan berbagai narasi adalah upaya para pengasong khilafah. HTI dan kaum radikal termasuk para teroris ISIS ikut menunggangi. Terkait isu kebangkitan PKI maka Badan Intelijen Negara (BIN) pun dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada satu pun elemen yang menunjukkan adanya gerakan tersebut. Clear.


Artinya? BIN paham betul isu itu dibuat oleh proxy dan untuk kepentingan para proxy. Yang menangguk di air keruh ya kelompok suka gaduh. Ya akhirnya para pembenci Pancasila yang bermain. Kisahnya kembali  ke sebelum Pilpres 2019.


Pasalnya, setelah kegagalan menunggangi Prabowo, malah Prabowo yang menunggangi kaum khilafah, HTI dan kaum radikal kecele. Ternyata Prabowo adalah nasionalis sejati. Ini membuat mereka kesetanan.


Analisis intelijen paling sederhana pun menunjukkannya. Kegagalan dikecoh oleh strategi kaum nasionalis, membuat HTI, teroris, Wahabi mencari jalan lain. Dengan modal besar menguasai BUMN, sumber daya uang, mereka terus bergerak. Strategi yang kini dipakai adalah menunggangi Pancasila. Mengelabuhi publik. Caranya?


Mereka banting setir seolah pembela Pancasila. Mereka membuat isu Pancasila terancam. Mereka menarasikan partai-partai nasionalis dan Jokowi tidak membela Pancasila. Mereka berbicara tentang Pancasila. Sok membela Pancasila.


Padahal mereka sedang berakrobat. Mereka memakai isu untuk menghancurkan Pancasila. Menghancurkan NKRI. Ingin mengganti Pancasila dengan ajaran sesat dan bahlul negara khilafah.


Sebelum kalah telak di Pilres 2019 (yang mana Prabowo berperan besar mengecoh kaum radikal dan pengasong khilafah) mereka berteriak tentang Pancasila yang selalu diperhadapkan dengan narasi hukum tuhan. Ketika Pancasila dan Pemerintah disebut sebagai thoghut, taghut, thaghut. Yang harus diganti dengan paham sesat khilafah.


Kini, para pengasong khilafah, teroris, dan Wahabi menunggangi kepentingan koruptor, politikus gelandangan, politikus trondolo, kadrun, mengangkat isu Pancasila yang diisukan sebagai terancam. Padahal mereka sedang mengelabuhi. Menipu umat Islam, publik umum. Dengan menjadi pahlawan kesiangan, yang seolah membela Pancasila. Padahal mereka perusak Pancasila dan NKRI.


Maka sesungguhnya isu gembar-gembor tentang kebangkitan PKI, tentang terancamnya NKRI, soal Pancasila, saling terkait. Yakni mereka sedang menunggangi, bermanuver, berakrobat, yang sejatinya justru mereka yang akan mengganti Pancasila.


Jangka pendeknya mereka membikin gaduh. Kegaduhan yang terkait dengan sumber daya, duit, korupsi, perampokan, perebutan akses sumber daya alam, hegemoni politik. Kegaduhan yang disebabkan ketidakpuasan. Maka yang berteriak-teriak soal kami kami dan kami adalah pula kaum pengasong, tukang asongan nasi bungkus Cendana.


Jadi, biarkan mereka menonton film jadul G30 S PKI, biarkan mereka menonton setiap hari kalau perlu diputar setiap hari di TV-oon. Namun rakyat Indonesia yang waras, BIN, dan aparat TNI/Polri paham gerombolan yang harus dipelototi terkait isu kebangkitan PKI, yakni; teroris, pengasong khilafah, dan Wahabi. Permainan perang proxy tingkat rendah yang gampang ditebak. (Ninoy N Karundeng).



Minggu, 04 Oktober 2020

ISU PKI ITU HANYA MIMPI

 MAYJEN PURN SAURIP KADI

"HUGO CHAVES NUSANTARA"


PIKIRAN Jernih seorang (Purn) Jendral AD yang pernah menjabat di Era ORBA ini, cukup buat kita untuk kontemplasi ulang dalam merespon isu Politik yang sengaja digulirkan, hanya sekedar untuk menyalurkan Libido kekuasaan segelintir elit politik saja.


Kita Bukan Bangsa Pendendam !


Oleh : Mayjen (Purn.) Saurip Kadi.


Kita sudah jauh melangkah berdemokrasi.

Koq masih sibuk bahaya latent KGB (Komunis Gaya Baru?-red).

Memang Undang-undang Dasar (UUD) hasil amandemen, belum menjabarkan nilai-nilai luhur Founding Father kita secara benar dan menyeluruh. Sehingga pengelolaan kekuasaan di era reformasi lebih parah dari jaman Orde Baru.


Dulu monopoli dan oligharkhi kekuasaan ada di tangan HMS (Haji Muhammad Soeharto ?-red). Tentara berubah jadi alat kekuasaan.

Rakyat di belah-belah, yang berpolitik ikut partai Orde Baru dengan 3 nama yaitu :

PPP (Partai Persatuan Pembangunan)

Golkar (Golongan Karya)

PDI (Partai Demokrasi Indonesia).


Yang tidak berpolitik diawasi oleh TNI (AD khususnya)

Dengan KOTER (Komando Teritorial)

Dan Intel TNI nya dengan (memberi-red)

Stempel EKKA (Ekstrim Kanan)

EKKI (Ekstrim Kiri)

EKLA (Ekstrim Lain)

Yang terdiri dari kaum intelektual yang kritis dan disuruh keluar negeri seperti Arief Budiman, George J Aditjondro dan lainnya.


Yang pasti Presiden Soeharto lengser dengan warisan yang sangat membebani generasi penerus. Hutang luar negeri begitu besar. Hutan sudah gundul. Lingkungan hidup yang sudah rusak, sumber daya alam dikuasai segelintir orang saja.


Di era reformasi monopoli dan oligharkhi kekuasaan, juga terjadi dan justru lebih parah, bukan oleh presiden tapi oleh pemegang kapital. Karena waktu itu kepemimpinan nasionnal lemah, maka dalam sistem yang semrawut muncul mafia dimana-mana.


Jujur kita harus berani bilang, aparat bisa dibeli oleh konglo hitam dengan jaringan mafianya. Idem juga hukum.


Presiden Joko Widodo saat ini sedang mensiasati agar dirinya tidak menjadi boneka. Dengan "diam", tapi tidak mau bergabung dengan mafia, kini antar mafia saling cakar dan menelanjangi diri. Setelah kasus papa minta saham, kini kasus reklamasi teluk Jakarta.


Lantas mengapa kita harus sibuk dengan bahaya laten KGB (Komunis Gaya Baru).


Bukankah yang harus jadi musuh bersama dan apalagi harus distempel BAHAYA LATENT semestinya terhadap pihak yang sudah merusak negara.


Mari jujur bertanya, -- perbuatan anak-anak PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mana yang bisa kita jadikan alasan mereka dijadikan ancaman?

Apakah keamburadulan, keterpurukan, dan hutang negeri yang begitu besar yang bikin mereka harus diwaspadai sampai ditakuti?

Siapa yg merampok kekayaan negeri ini, apakah mereka anak-anak PKI atau orang lain?


Dosa apa yang mereka tanggung? Apalagi sebagai anak keluarga PKI saat Orde Baru mereka sudah didholimi negara, yang dilakukan oleh saya dan kawan-kawan di TNI.


Jangankan jadi anggota TNI atau POLRI dan PNS, jadi buruh pabrik milik swasta saja mereka tidak bisa. Peluang yang paling mungkin adalah jadi tukang tambal ban, buruh harian dan maaf-maaf, jadi pelacur bagi yang perempuan. Ini fakta bukan opini.


Saat mereka menjadi militan untuk survive, belakangan bisa jadi anggota DPR/D, DPD dan bahkan menteri. Lantas kita teriak awas bahaya laten KGB ! Sungguh lucu kalian semua kawan!


Lucu karena komunisme sudah rontok. Ideologi sudah tamat. Takut kok sama roh gentayangan komunisme dan PKI yang sudah lama terkubur. Mengapa ada pihak yang ketakutan secara berlebihan?


Semestinya segenap aparatur negara termasuk juga TNI dan Polri harus segera switching of mind set, tak peduli pangkat dan jabatan dirinya adalah ‘Pelayan’ alias jongos. Gaji yang mereka terima adalah uang pajak rakyat. Tempat kan Rakyat sebagai majikan.


Berlakulah sopan dan jangan kurang ajar terhadap majikan. Bagi TNI kembalilah ke khitoh. Rasakan denyut nadi rakyat. Karena legitimasi hanya lahir tergantung bagaiamana to win the heart of the people. Kenapa kalian harus ikut menyakiti hati rakyat, ikut gusur menggusur orang-orang tak bersalah. Mereka lahir dari keluarga miskin bukan karena pilihan. Mereka rakyat Indonesia. Jangan hinakan mereka.


Perubahan tata kelola dunia yang menimbulkan kerusakan alam dan kesenjangan sosial ternyata membawa malapetaka bagi peradaban manusia tak terkecuali bagi pemegang kapital papan atas di tingkat dunia.


Sepuluh Global Concern kalau saja disikapi dengan baik, niscaya membawa berkah bagi segenap anak bangsa tanpa kecuali. Maka sangat tepat kalau Presiden joko Widodo merespon upaya mengakhiri dendam masa lalu. Dengan rakyat bersatu, apa yang tidak bisa kita laksanakan. Semua kita pun


ya. SDM lebih dari cukup.

Kerusakan sosial juga hanya di kota-kota besar saja. Saudara-saudara kita yang di daerah, sangat paham untuk tidak"memanen karena tidak ikut menanam". Mereka satu antara kata dan perbuatan. Mereka pekerja tangguh. Habis subuh mereka bergegas ke sawah atau ke laut. Bukan seperti sebagian elit kita yang sudah tidak bisa membedakan halal dan haram.

*Penulis adalah Asisten Teritorial Kepala Staff Angkatan Darat ABRI (2000 dan anggota DPR-RI-Fraksi ABRI (1995-1997).