Sabtu, 14 Februari 2015

KESAKSIAN PARA FROFESOR YANG MASIH DI PERTANYAKAN INDEPENSINYA

Sidang praperadilan Budi Gunawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghadirkan empat saksi ahli pada Rabu, 11 Februari 2014, kemarin. Mereka adalah ahli hukum Universitas Parahyangang Romli Atmasasmita, ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chaerul Huda, ahli hukum tata negara Universitas Khairun Ternate Margarito Kamis, dan ahli hukum Universitas Padjadjaran I Gede Panca Hastawa.

Dalam sidang yang dipimpin hakim tunggal Sarpin Rizaldi, keempat saksi ahli mengemukakan sejumlah dalil yang memperkuat gugatan Budi Gunawan. Sidang praperadilan ini merupakan upaya Budi Gunawan menggugat penetapannya sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Budi Gunawan mensinyalir penetapannya sebagai tersangka tidak memiliuki bukti yang kuat serta bernuansa politis.

Namun, beberapa keterangan para profesor itu memunculkan kontroversi. Berikut daftarnya:

1. Romli Atmasasmita

Saat bersaksi, Romli tak konsisten memberikan keterangan. Awalnya, Romli ngotot bahwa pimpinan KPK harus lima orang dalam setiap mengeluarkan kebijakan atau keputusan menetapkan tersangka. Sebab, ia ikut merumuskan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Ia merujuk Pasal 21 beleid tersebut yang menyatakan pimpinan KPK berjumlah lima orang, yang terdiri atas satu pimpinan dan empat wakil. "Hal-hal yang diputuskan pimpinan KPK dalam jumlah yang kurang dari 5 orang, pemahaman saya tidak dibenarkan," kata Romli.

Pernyataan Romli berubah saat Kepala Biro Hukum KPK, Chatarina Mulyana Girsang, menanyakan apakah keputusan empat pimpinan KPK tetap tidak sah saat menaikkan status penyelidikan ke penyidikan dari hasil tangkap tangan.

Chatarina mencontohkan seorang pimpinan sedang di luar negeri atau di dalam pesawat sehingga tak bisa dihubungi. Namun, empat pimpinan KPK lainnya harus segera memutuskan menaikkan status seseorang hasil tangkap tangan yang dalam ketentuan undang-undang hanya diberi waktu 1x24 jam. "Bagaimana pelaksanaannya ketika satu orang pimpinan berada di luar negeri tapi harus memutuskan status hasil OTT (operasi tangkap tangan)," ujar Chatarina.

Romli mengakui hal tersebut sebagai diskresi yang dimiliki KPK. Dalam kondisi darurat seperti itu, kata dia, harus dibuatkan aturan internal lebih dulu. "Karena undang-undang tidak menjangkau semua masalah. Benar itu diskresi, tapi tidak boleh melanggar kepastian hukum," kata Romli.

2. Margarito

Sebelum persidangan, Margarito menyatakan akan menyampaikan kepada majelis hakim ihwal kewenangan KPK dalam menyidik Budi Gunawan. "Ini, kan, ada banyak hal. Satu di antaranya, apakah BG pejabat negara atau tidak? Apakah BG dalam deliknya berkualifikasi sebagai penyelenggara negara atau tidak," ujar Margarito.

Margarito merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian RI bahwa Budi yang dijerat sebagai tersangka saat menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Mabes Polri itu hanya sebagai pejabat eselon II. Karena itu, Margarito menganggap Budi bukan penyelenggara atau pejabat negara.

Margarito menukil Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa KPK berwenang menyidik penyelenggara negara. Margarito mengartikan penyelenggara negara yang dimaksud adalah pejabat eselon I.

Padahal isi lengkap pasal 11 adalah KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara, aparat penegak hukum, dan orang lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

Kepala Biro Hukum KPK Chatarina Mulyana Girsang mengatakan komisi antirasuah mempunyai kewenangan menyidik subyek hukum yang terdiri atas pegawai negeri, penyelenggara negara, dan penegak hukum. "Penyelenggara negara memang eselon II. Kalau Pak BG, aparat penegak hukum. Siapa yang bisa menyangkal kalau polisi bukan penegak hukum?" ujar Chatarina.

3. Frederich Yunadi

Selain Romli dan Margarito, pengacara Budi Gunawan, Frederich Yunadi, juga mempertanyakan status penyidik KPK yang menandatangani surat panggilan kliennya. Frederich mempersoalkan kebijakan KPK mengangkat penyidik yang tak punya latar belakang kepolisian dan kejaksaan. "Itu kan sudah ngawur, mereka tidak menghormati norma hukum. Lebih baik mereka sekolahlagi," ujar Frederich.

Kuasa hukum KPK, Chatarina Mulia Girsang, membantah hal itu. Menurut dia, dua landasan hukum yang dipakai adalah Undang-undang KPK dan UU Tindak Pidana Korupsi. Disebutkan KPK boleh mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri, meski bukan dari anggota kepolisian.

“KPK berwenang mengangkat penyidik-penyidik sendiri berdasarkan Undang-undang KPK, kalau penuntut umum tidak,” jelas Chatarina

PRESIDEN JOKOWIDODDO DAN BOS PDIP MEGAWATI SP

Solo – Bertemunya Presiden Jokowi dengan Ketua Umum PDIP Perjuangan Megawati, di acara Musyawarah Nasional II Partai Hati Nurani Rakyat di Solo, 13 Februari 2015, mengubur spekulasi bahwa hubungan kedua tokoh ini masih belum cair.

Dalam acara yang digelar di Diamond Convention Center tersebut, Megawati duduk diapit oleh Jokowi dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Saat acara hiburan berupa sendratari, Jokowi dan Megawati terlihat sempat berbisik-bisik. Jari Megawati sempat menunjuk ke arah panggung utama.

Menurut Jokowi seusai acara, selama ini komunikasi antara dia dengan pentolan partai banteng itu masih tetap terjaga dengan baik. "Tiap hari ketemu," katanya.

Sebelumnya komunikasi kedua tokoh itu dikabarkan kurang lancar karena Jokowi tidak juga melantik Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri meski sudah disetujui DPR. Jokowi menunda pelantikan Budi Gunawan lantaran mendapat tekanan public setelah Budi ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi oleh KPK.

Perkembangan di Solo itu juga bisa memberikan sinyal berakhirnya kisruh Budi Gunawan. Apalagi sebelumnya Presiden sudah meminta Komisi Kepolisian Nasional untuk menyodorkan calon baru untuk menggantikan Budi.

Komisioner Kompolnas M. Nasser mengisyaratkan calon yang akan dipilih oleh Jokowi. Ia mengatakan Komisaris Jenderal Dwi Priyatno layak dipilih menjadi calon Kepala Kepolisian RI. "Dia layak menjadi Kepala Polri," kata Nasser saat dihubungi Tempo, Kamis, 12 Februari 2015.

Dwi, yang kini menjabat Inspektur Pengawasan Umum Markas Besar Polri, disebut bakal menggantikan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri. Sejumlah sumber Tempo menyebut Presiden Joko Widodo akan memilih Dwi sebagai pimpinan Trunojoyo.

Menurut Nasser, sebagai perwira tinggi, Dwi telah menduduki sejumlah jabatan di Korps Bhayangkara. Nasser juga menganggap Dwi memiliki riwayat penugasan yang lengkap. "Saat memimpin Polda Jawa Tengah, dia bagus. Saat memimpin Polda Metro Jaya, dia juga bagus," ujarnya.

Nasser mengatakan Dwi adalah satu di antara enam nama yang diajukan Komisi Kepolisian ke Presiden Joko Widodo, di Istana Kepresidenan, pada Selasa kemarin. "Diserahkan melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno," ujar dia.

Lima nama lainnya adalah Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Budi Waseso, Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Komisaris Putut Bayu Seno, Wakil Kepala Polri Komisaris Badrodin Haiti, Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional Komisaris Suhardi Alius, dan Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Anang Iskandar.

SURAT UNTUK KPK DARI ANAS URBANINGRUM

Terpidana kasus korupsi, Anas Urbaningrum ikut memberikan komentar terkait kisruh antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Melalui kuasa hukumnya, Handika Honggo Wongso yang datang ke KPK, Jumat (13/2) sore,  mantan Ketua Umum Partai Demokrat tersebut menyampaikan beberapa hal terkait kisruh KPK-Polri, hingga aksi teror yang kini dikabarkan diterima oleh penyidik dan pegawai KPK.

Berikut isi surat Anas kepada lembaga anti korupsi tersebut.

Surat Pertama

"Menyelamatkan KPK dengan Cara yang Benar"

1. Persoalan yang sekarang dihadapi oleh KPK bukan masalah institusi KPK melainkan masalah personal pengurus KPK karena itu sesungguhnya tidak relevan mengangkat tema penyelamatan KPK terkait dengan problem-problem pribadi tersebut.

2. Sebagai institusi, KPK akan selamat dan tetap dibutuhkan kehadirannya. Bahkan perannya akan tetap penting ke depan. Tugas sejarah KPK masih panjang, eksistensinya harus dijaga dan bahkan mendapatkan penguatan-penguatan sesuai dengan konteks dinamika tantangannya.

3. Penyelamatan KPK sebagai institusi justru membutuhkan kesediaan untuk merelakan pengurusnya yang diduga melakukan pelanggaran etik atau hukum. Proses hukum dan etik seharusnya dilalui untuk membuktikan apakah pribadi-pribadi tersebut bersalah atau tidak bersalah. Asas praduga tak bersalah harus tetap dipegang teguh sampai adanya putusan hukum dan etik.

4. Penyelamatan KPK adalah memperkuat institusi KPK dengan membebaskan KPK dari tendensi personalisasi dan mitologi serbabenar dan suci.
Penyelamatan KPK adalah membangun KPK historis, bukan KPK mitologis.
Lembaga KPK terlalu mahal jika dijadikan tameng atas kekurangan atau kekhilafan pribadi pengurusnya.

5. Penyelamatan KPK adalah penguatan institusi KPK untuk makin cakap bekerja profesional, independen, imparsial, dan setia pada khitah kelahirannya.

Anas Urbaningrum (130215)

Surat kedua

"Imam Kentut, Shalat Jamaah Jalan Terus"

1. Apakah shalat berjamaah harus bubar kalau imamnya kentut? Jelas tidak. Shalat berjamaah tetap sah dan bisa dilanjutkan dengan cara melakukan penggantian imam.

2. Justru shalat berjamaah akan tidak sah kalau imam yang kentut tetap dibiarkan melanjutkan tugasnya, baik karena imamnya tidak mau diganti atau lantaran ma'mumnya tidak ada yang mau menggantikan.

3. Idealnya, imam yang kentut, sadar untuk segera meninggalkan posisinya untuk diganti salah satu makmumnya. Makmum juga harus berani mengingatkan imamnya. Jangankan imam yang kentut, imam yang salah bacaan saja harus diingatkan.

4. Jika sekarang ada masalah, yang bermasalah di KPK bukan shalat berjamaahnya. Yang dianggap bermasalah adalah imamnya. Lembaga KPK dapat diselamatkan dan harus diselamatkan. Jangan sampai karena imamnya yang kentut lalu shalat berjamaahnya jadi bubar.

5. KPK wajib diselamatkan dan bahkan diperkuat andaikan ada imamnya yang melakukan pelanggaran etik atau hukum. Terhadap imam KPK harus diberikan kesempatan membela diri secara adil, agar jelas dinyatakan bersalah atau tidak bersalah.

Senin, 02 Februari 2015

CCTV pertemuan Abraham samad

Polri Klaim Punya CCTV Pertemuan Ketua KPK dan Elit PDIP

Dedy Priatmojo, SyaefullahSenin, 2 Februari 2015, 12:34 WIB
VIVA.co.id - Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim Polri, Inspektur Jenderal Budi Waseso, mengaku telah mengantongi sejumlah dokumen barang bukti pertemuan antara Ketua KPK, Abraham Samad dengan elit PDIP di Capital Residence SCBD beberapa waktu lalu.

"Berdasarkan pengakuan saksi, semua data kami kumpulkan, termasuk close circuit television (CCTV) juga," kata Budi di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Senin 2 Februari 2015.

Budi mengatakan, penyidik Bareskrim telah meminta sejumlah dokumen penting dari Pelaksana Tugas (Plt) PDIP, Hasto Kristiyanto. Hal ini untuk mengumpulkan bukti-bukti yang lainnya.

"Kami sudah mengambil sedikit keterangan dari Pak Hasto, dan data yang lainnya sedang dilakukan evaluasi tim penyidik," ujar dia.

Meski demikian, mantan Kapolda Gorontalo itu menerangkan bahwa keterangan yang disampaikan Hasto belum dikenakan berita acara pemeriksaan (BAP), tapi masih dalam tahap permintaan keterangan awal.
"Kami pengen tahu apakah yang disampaikan benar atau tidak. Kalau benar dituangkan dalam berita acara. Itu bisa dipertanggung jawabkan," tegas Irjen Budi.

Mengenai rencana pemanggilan dua politikus PDIP, Hasto Kristiyanto dan Tjahjo Kumolo, Irjen Budi Waseso mengaku belum menjadwalkannya. "Belum ada jadwal, tapi secepatnya kami akan melakukan pemanggilan," terang dia. [Baca: Kasus Abraham Samad, Polri Akan Panggil Hasto dan Tjahjo]

Seperti diketahui, Bareskrim Polri telah memeriksa saksi kunci terkait dugaan pertemuan antara Ketua KPK Abraham Samad dengan Petinggi PDIP. Dalam kasus ini, Abraham Samad diduga melanggar kode etik, karena jabatannya sebagai ketua KPK yang seharusnya tidak bersinggungan dengan kepentingan politis. (ase)