Sidang praperadilan Budi Gunawan di 
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghadirkan empat saksi ahli pada 
Rabu, 11 Februari 2014, kemarin. Mereka adalah ahli hukum Universitas 
Parahyangang Romli Atmasasmita, ahli hukum pidana Universitas 
Muhammadiyah Jakarta Chaerul Huda, ahli hukum tata negara Universitas 
Khairun Ternate Margarito Kamis, dan ahli hukum Universitas Padjadjaran I
 Gede Panca Hastawa.
Dalam sidang yang dipimpin hakim 
tunggal Sarpin Rizaldi, keempat saksi ahli mengemukakan sejumlah dalil 
yang memperkuat gugatan Budi Gunawan. Sidang praperadilan ini merupakan 
upaya Budi Gunawan menggugat penetapannya sebagai tersangka kasus dugaan
 suap dan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Budi Gunawan 
mensinyalir penetapannya sebagai tersangka tidak memiliuki bukti yang 
kuat serta bernuansa politis. 
 
 Namun, beberapa keterangan para profesor itu memunculkan kontroversi. Berikut daftarnya:
 
 1. Romli Atmasasmita
 
 Saat bersaksi, Romli tak konsisten memberikan keterangan. Awalnya, 
Romli ngotot bahwa pimpinan KPK harus lima orang dalam setiap 
mengeluarkan kebijakan atau keputusan menetapkan tersangka. Sebab, ia 
ikut merumuskan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
 
 Ia merujuk Pasal 21 beleid tersebut yang menyatakan pimpinan KPK 
berjumlah lima orang, yang terdiri atas satu pimpinan dan empat wakil. 
"Hal-hal yang diputuskan pimpinan KPK dalam jumlah yang kurang dari 5 
orang, pemahaman saya tidak dibenarkan," kata Romli.
 
 Pernyataan Romli berubah saat Kepala Biro Hukum KPK, Chatarina Mulyana 
Girsang, menanyakan apakah keputusan empat pimpinan KPK tetap tidak sah 
saat menaikkan status penyelidikan ke penyidikan dari hasil tangkap 
tangan.
 
 Chatarina 
mencontohkan seorang pimpinan sedang di luar negeri atau di dalam 
pesawat sehingga tak bisa dihubungi. Namun, empat pimpinan KPK lainnya 
harus segera memutuskan menaikkan status seseorang hasil tangkap tangan 
yang dalam ketentuan undang-undang hanya diberi waktu 1x24 jam. 
"Bagaimana pelaksanaannya ketika satu orang pimpinan berada di luar 
negeri tapi harus memutuskan status hasil OTT (operasi tangkap tangan),"
 ujar Chatarina.
 
 Romli 
mengakui hal tersebut sebagai diskresi yang dimiliki KPK. Dalam kondisi 
darurat seperti itu, kata dia, harus dibuatkan aturan internal lebih 
dulu. "Karena undang-undang tidak menjangkau semua masalah. Benar itu 
diskresi, tapi tidak boleh melanggar kepastian hukum," kata Romli.
 
 2. Margarito 
 
 Sebelum persidangan, Margarito menyatakan akan menyampaikan kepada 
majelis hakim ihwal kewenangan KPK dalam menyidik Budi Gunawan. "Ini, 
kan, ada banyak hal. Satu di antaranya, apakah BG pejabat negara atau 
tidak? Apakah BG dalam deliknya berkualifikasi sebagai penyelenggara 
negara atau tidak," ujar Margarito.
 
 Margarito merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 2002 tentang 
Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian RI bahwa Budi yang dijerat sebagai 
tersangka saat menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi 
Sumber Daya Manusia Mabes Polri itu hanya sebagai pejabat eselon II. 
Karena itu, Margarito menganggap Budi bukan penyelenggara atau pejabat 
negara.
 
 Margarito 
menukil Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa
 KPK berwenang menyidik penyelenggara negara. Margarito mengartikan 
penyelenggara negara yang dimaksud adalah pejabat eselon I. 
 
 Padahal isi lengkap pasal 11 adalah KPK berwenang melakukan 
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang 
melibatkan penyelenggara negara, aparat penegak hukum, dan orang lain 
yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat 
penegak hukum atau penyelenggara negara.
 
 Kepala Biro Hukum KPK Chatarina Mulyana Girsang mengatakan komisi 
antirasuah mempunyai kewenangan menyidik subyek hukum yang terdiri atas 
pegawai negeri, penyelenggara negara, dan penegak hukum. "Penyelenggara 
negara memang eselon II. Kalau Pak BG, aparat penegak hukum. Siapa yang 
bisa menyangkal kalau polisi bukan penegak hukum?" ujar Chatarina.
 
 3. Frederich Yunadi
 
 Selain Romli dan Margarito, pengacara Budi Gunawan, Frederich Yunadi, 
juga mempertanyakan status penyidik KPK yang menandatangani surat 
panggilan kliennya. Frederich mempersoalkan kebijakan KPK mengangkat 
penyidik yang tak punya latar belakang kepolisian dan kejaksaan. "Itu 
kan sudah ngawur, mereka tidak menghormati norma hukum. Lebih baik 
mereka sekolahlagi," ujar Frederich.
Kuasa hukum KPK, Chatarina Mulia 
Girsang,  membantah hal itu. Menurut dia, dua landasan hukum yang 
dipakai adalah Undang-undang KPK dan UU Tindak Pidana Korupsi. 
Disebutkan KPK boleh mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri, meski 
bukan dari anggota kepolisian.
“KPK berwenang mengangkat penyidik-penyidik sendiri berdasarkan Undang-undang KPK, kalau penuntut umum tidak,” jelas Chatarina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar