Oleh KH. Mustofa Bisyri
Dulu agama menghancurkan berhala.
Kini agama jadi berhala. Tak kenal Tuhannya yang penting agamanya.
Dulu orang berhenti membunuh karena agama.
Sekarang orang saling membunuh karena agama.
Dulu orang saling mengasihi karena beragama
Kini orang saling membenci karena beragama
Agama tak pernah berubah ajarannya dari dulu
Tuhannya pun tak pernah berubah dari dulu
Lalu yang berubah apanya?
Manusia nya?
Dulu orang belajar agama sebagai modal
untuk mempelajari ilmu lainnya
Sekarang orang malas belajar ilmu lainnya
maunya belajar agama saja.
Dulu pemimpin agama dipilih berdasarkan kepintarannya
yang paling cerdas di antara orang-orang lainnya
Sekarang orang yang paling dungu
yang tidak bisa bersaing dengan orang-orang lainnya
dikirim untuk belajar jadi pemimpin agama.
Dulu para siswa diajarkan untuk harus belajar giat dan berdoa
untuk bisa menempuh ujian
Sekarang siswa malas belajar
tapi sesaat sebelum ujian berdoa paling kencang
karena diajarkan pemimpin agamanya
untuk berdoa supaya lulus.
Dulu agama mempererat hubungan manusia dengan Tuhan
Sekarang manusia jauh dari Tuhan karena terlalu sibuk dengan urusan-urusan agama.
Dulu agama ditempuh untuk mencari wajah Tuhan
Sekarang agama ditempuh untuk cari muka di hadapan Tuhan.
Esensi beragama telah dilupakan
Agama kini hanya komoditi
yang menguntungkan pelaku bisnis berbasis agama
karena semua yang berbau agama telah didewa-dewakan
tak kan pernah dianggap salah, tak pernah ditolak
dan jadi keperluan pokok melebihi sandang, pangan, papan
Agama jadi hobi, tren
dan bahkan pelarian karena tak tahu lagi mesti mengerjakan apa.
Agama kini diperTuhan kan
sedang Tuhan itu sendiri dikesampingkan
Agama dulu memuja Tuhan
Agama kini menghujat Tuhan.
Nama Tuhan dijual, diperdagangkan, dijaminkan, dijadikan murahan
oleh orang-orang yg merusak, membunuh, sambil meneriakkan nama Tuhan.
Tuhan mana yang mengajarkan tuk membunuh?
Tuhan mana yang mengajarkan tuk membenci?
Tapi manusia membunuh, membenci, mengintimidasi, merusak
sambil dengan bangga meneriakkan nama Tuhan
berpikir bahwa Tuhan sedang disenangkan
ketika ia menumpahkan darah manusia lainnya.
Agama dijadikan senjata tuk menghabisi manusia lainnya
Dan tanpa disadari manusia sedang merusak reputasi Tuhan
dan sedang mengubur Tuhan dalam-dalam
dibalik gundukan ayat-ayat dan aturan agama.
Gus Mus, 2017
Selasa, 30 Oktober 2018
Minggu, 28 Oktober 2018
Pasang Surut Hubungan HTI dan FPI
FPI dan HTI dua organisasi Islam yang muncul setelah jatuhnya Soeharto. Kedua organisasi ini memiliki semangat yang sama dalam hal formalisasi syariah. Daya kritis keduanya terhadap penguasa sama kerasnya. Dan mereka bersih dari pengaruh KKN di masa Orde Baru. Tiga kesamaan ini membuat FPI dan HTI bisa berdekatan.
Baca juga : Setelah Malang, Kini FPI Jombang Sepakat Larang HTI Kembali Hidup di Indonesia, FPI Pusat Kapan?
Momentum Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) keempat 17-21 April 2005 di Jakarta yang diselenggarakan Majlis Ulama Indonesia, HTI intensif mendekati ormas dan tokoh Islam. HTI kemudian membentuk lajnah khusus untuk menggarap tokoh dari ormas-ormas Islam. Lajnah ini disebut Lajnah Fa'aliyah. Ust. Al-Khaththath ditunjuk sebagai ketua dibantu beberapa orang anggota lajnah. Agenda terdekat Lajnah Fa'aliyah pasca KUII keempat adalah menjaga hubungan dengan tokoh-tokoh ormas peserta KUII kemudian lahir Forum Umat Islam yang digagas HTI.
Baca juga : FPI Kabupaten Malang Sepakat HTI Tak Boleh Ada di Indonesia
Saat itu sebenarnya FUI kepanjangan tangan DPP HTI. Ust. Al-Khaththath dan anggota Lajnah Fa'aliyah di-BKO-kan di FUI. Mereka selalu konsultasi dengan DPP HTI soal isu dan aksi apa yang bisa diangkat melalui FUI. Setiap bulan perkembangan aktivitas Lajnah Fa'aliyah khususnya di FUI, dilaporkan pada rapat bulanan DPP HTI.Aksi apa Dari sini lahir aksi-aksi FUI. DI daerah-daerah HTI melakukan hal yang sama dengan di pusat. Membentuk Lajnah Fa'aliyah tingkat propinsi. Mengontak para tokoh ormas. Menjalin hubungan dengan mereka. Bila memungkinkan membentuk wadah bersama seperti FUI di Jakarta.
Baca juga : Setelah Malang, Kini FPI Jombang Sepakat Larang HTI Kembali Hidup di Indonesia, FPI Pusat Kapan?
Momentum Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) keempat 17-21 April 2005 di Jakarta yang diselenggarakan Majlis Ulama Indonesia, HTI intensif mendekati ormas dan tokoh Islam. HTI kemudian membentuk lajnah khusus untuk menggarap tokoh dari ormas-ormas Islam. Lajnah ini disebut Lajnah Fa'aliyah. Ust. Al-Khaththath ditunjuk sebagai ketua dibantu beberapa orang anggota lajnah. Agenda terdekat Lajnah Fa'aliyah pasca KUII keempat adalah menjaga hubungan dengan tokoh-tokoh ormas peserta KUII kemudian lahir Forum Umat Islam yang digagas HTI.
Baca juga : FPI Kabupaten Malang Sepakat HTI Tak Boleh Ada di Indonesia
Saat itu sebenarnya FUI kepanjangan tangan DPP HTI. Ust. Al-Khaththath dan anggota Lajnah Fa'aliyah di-BKO-kan di FUI. Mereka selalu konsultasi dengan DPP HTI soal isu dan aksi apa yang bisa diangkat melalui FUI. Setiap bulan perkembangan aktivitas Lajnah Fa'aliyah khususnya di FUI, dilaporkan pada rapat bulanan DPP HTI.Aksi apa Dari sini lahir aksi-aksi FUI. DI daerah-daerah HTI melakukan hal yang sama dengan di pusat. Membentuk Lajnah Fa'aliyah tingkat propinsi. Mengontak para tokoh ormas. Menjalin hubungan dengan mereka. Bila memungkinkan membentuk wadah bersama seperti FUI di Jakarta.
Di balik kesamaan emosi dalam memperjuangkan syariah, FPI dan HTI menyimpan perbedaan yang dalam dan mendasar. Secara aqidah FPI menganut paham Asy'ariyah yang oleh HTI dianggap sesat. FPI mengambil Syafi'iyah sebagai madzhab fiqih, sedangkan HTI bermadzhab Nabhaniyah. FPI ingin mewujudkan NKRI Bersyariah, adapun HTI berjuang ingin membentuk Khilafah Tahririyah. FPI langsung di bawah komando ketua umumnya HRS, sedangkan ketua DPP HTI hanya pelaksana tugas Amir Hizbut Tahrir. Tapi HTI perlu FPI sebagai sekutu sementara untuk melawan penguasa mengingat FPI memiliki massa, kader yang banyak dan militan serta jaringan yang kuat di Jakarta.
Baca juga : TGB: Sudah Saya Cek di Berbagai Kitab Hadits, Bendera Rasulullah Tidak Pernah Dikibarkan di Situasi Damai
Persekutuan sementara ini tidak berumur panjang. Hanya berjalan 3 tahun. Persekutuan ini berakhir ketika Insiden Monas 2008 pecah ketika FPI dan HTI melalui wadah FUI mengadakan aksi bersama. Pada saat aksi terjadi bentrokan antara massa AKKBB dengan oknum massa FPI. Atas kejadian itu DPP HTI cuci tangan. Lalu keluar dari FUI. DPP HTI yang culas blas. Hal ini membuat marah HRS. Sejak itu hubungan FPI dan HTI jadi memanas. Saling menjelekkan satu sama lain di forum-forum. Adapun posisi Ust. Al-Khaththath memilih keluar dari HTI. Dia tetap di FUI dan berhubungan terus dengan HRS sampai sekarang.
2 tahun setelah Insiden Monas. FPI dan HTI masih tegang. Di Bangka Belitung, sebagai ketua HTI saya mengundang HRS dalam acara Safari Dakwah. Mengundang tokoh-tokoh Islam nasional dan kontroversial cara paling efektif untuk mensosialisasikan HTI di Babel. Tokoh-tokoh yang selama ini wajah dan suaranya mereka tonton di TV, kini hadir di tengah-tengah mereka. Sebelum HRS, awal 2008 saya mengundang Ust. Abu Bakar Ba'asyir dan Ust. Al-Khaththath dalam acara Sarasehan Umat Islam Bangka Belitung.
Baca juga : Biar Netral, PBNU Tawarkan Saksi Ahli Dari Timur Tengah yang Mengalami Sendiri Negaranya Hancur Gara-gara Simbol HTI
Safari Dakwah HRS di Bangka memicu kontroversi di internal HTI. Di safari dakwah ini HRS jadi penceramah tunggal. Iklan acara dimuat di buletin Al-Islam cetakan HTI Babel. Tentu saja acara safari dakwah HRS di Bangka sepengetahuan dan seizin DPP HTI. Pada saat yang sama kebetulan ada kunjungan rutin supervisi dari DPP HTI. Hikmahnya, HRS dan DPP HTI bisa ketemu kembali. Pertemuan itu terjadi di ruang VIP Bandara Depati Amir Pangkalpinang. Sekalian mengantar kepulangan HRS ke Jakarta.
FPI dan HTI sudah saling kenal. Persekutuan FPI dan HTI sulit terjalin kembali. Pada kasus pembakaran bendera di Garut, sepintas lalu publik melihat FPI membela HTI. Tetapi di sisi lain, FPI Malang dan Jombang setuju HTI dilarang eksis kembali. FPI sama sekali tidak bersikap ambigu terhadap HTI karena pada insiden pembakaran di Garut persepsi FPI bendera itu bendera tauhid bukan bendera HTI. Emangnya tauhid itu semacam ormas baru yang punya bendera?!
Bandung, 29 Oktober 2018
Baca juga : TGB: Sudah Saya Cek di Berbagai Kitab Hadits, Bendera Rasulullah Tidak Pernah Dikibarkan di Situasi Damai
Persekutuan sementara ini tidak berumur panjang. Hanya berjalan 3 tahun. Persekutuan ini berakhir ketika Insiden Monas 2008 pecah ketika FPI dan HTI melalui wadah FUI mengadakan aksi bersama. Pada saat aksi terjadi bentrokan antara massa AKKBB dengan oknum massa FPI. Atas kejadian itu DPP HTI cuci tangan. Lalu keluar dari FUI. DPP HTI yang culas blas. Hal ini membuat marah HRS. Sejak itu hubungan FPI dan HTI jadi memanas. Saling menjelekkan satu sama lain di forum-forum. Adapun posisi Ust. Al-Khaththath memilih keluar dari HTI. Dia tetap di FUI dan berhubungan terus dengan HRS sampai sekarang.
2 tahun setelah Insiden Monas. FPI dan HTI masih tegang. Di Bangka Belitung, sebagai ketua HTI saya mengundang HRS dalam acara Safari Dakwah. Mengundang tokoh-tokoh Islam nasional dan kontroversial cara paling efektif untuk mensosialisasikan HTI di Babel. Tokoh-tokoh yang selama ini wajah dan suaranya mereka tonton di TV, kini hadir di tengah-tengah mereka. Sebelum HRS, awal 2008 saya mengundang Ust. Abu Bakar Ba'asyir dan Ust. Al-Khaththath dalam acara Sarasehan Umat Islam Bangka Belitung.
Baca juga : Biar Netral, PBNU Tawarkan Saksi Ahli Dari Timur Tengah yang Mengalami Sendiri Negaranya Hancur Gara-gara Simbol HTI
Safari Dakwah HRS di Bangka memicu kontroversi di internal HTI. Di safari dakwah ini HRS jadi penceramah tunggal. Iklan acara dimuat di buletin Al-Islam cetakan HTI Babel. Tentu saja acara safari dakwah HRS di Bangka sepengetahuan dan seizin DPP HTI. Pada saat yang sama kebetulan ada kunjungan rutin supervisi dari DPP HTI. Hikmahnya, HRS dan DPP HTI bisa ketemu kembali. Pertemuan itu terjadi di ruang VIP Bandara Depati Amir Pangkalpinang. Sekalian mengantar kepulangan HRS ke Jakarta.
FPI dan HTI sudah saling kenal. Persekutuan FPI dan HTI sulit terjalin kembali. Pada kasus pembakaran bendera di Garut, sepintas lalu publik melihat FPI membela HTI. Tetapi di sisi lain, FPI Malang dan Jombang setuju HTI dilarang eksis kembali. FPI sama sekali tidak bersikap ambigu terhadap HTI karena pada insiden pembakaran di Garut persepsi FPI bendera itu bendera tauhid bukan bendera HTI. Emangnya tauhid itu semacam ormas baru yang punya bendera?!
Bandung, 29 Oktober 2018
Senin, 22 Oktober 2018
Rosululloh pernah meyuruh membakar mesjid yang memecah belah umat
Ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah, beliau merasakan pentingnya membangun rumah ibadah yang dapat digunakan umat Islam bersama-sama. Oleh sebab itu, ditemani para sahabat, Rasulullah membangun masjid pertama dalam sejarah Islam yang kemudian dikenal dengan nama masjid Quba’.
Sebagaimana digambarkan oleh para sejarawan, Masjid Quba’ memiliki arsitektur yang sangat sederhana. Dindingnya terbuat dari tanah liat, tiang dan atap dari pohon dan pelepah kurma serta hanya berlantaikan tanah. Ketika kaum Muhajirin berniat memugar masjid tersebut Rasulullah menolaknya.
Walaupun secara lahiriah masjid Quba’ sangat sederhana namun Allah menyebut masjid ini sebagai masjid yang dibangun atas dasar ketakwaan sejak awal berdirinya. Sementara orang-orang yang berada di dalamnya adalah orang-orang yang selalu membersihkan diri mereka (QS. Attaubah [9]: 108).
Setelah masjid Quba’ berdiri dan menjadi pusat kegiatan umat Islam mulailah orang-orang munafik merasa tidak tenang atas persaudaraan yang erat di kalangan umat Islam. Mereka lantas membangun masjid Dhirar yang bagus di Madinah untuk memecah belah persaudaraan dan melemahkan persatuan umat Islam.
Allah melukiskan motivasi dibalik didirikannya masjid Dhirar tersebut dalam firman-Nya: “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang Mukmin) dan karena kekafiran-(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang Mukmin, serta menunggu/mengamat-amati kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu.” (QS. At-Taubah [9]: 107).
Mengetahui siasat buruk orang-orang munafik, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk membakar masjid tersebut. Kemudian Lokasi bangunan masjid Dhirar dijadikan tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang.
Demikian akhir dari masjid yang didirikan atas dasar kemunafikan dan niat yang tidak baik, niat untuk memecah belah umat Islam, melakukan propaganda-propaganda yang memicu permusuhan di antara sesama umat.
Sebagaimana digambarkan oleh para sejarawan, Masjid Quba’ memiliki arsitektur yang sangat sederhana. Dindingnya terbuat dari tanah liat, tiang dan atap dari pohon dan pelepah kurma serta hanya berlantaikan tanah. Ketika kaum Muhajirin berniat memugar masjid tersebut Rasulullah menolaknya.
Walaupun secara lahiriah masjid Quba’ sangat sederhana namun Allah menyebut masjid ini sebagai masjid yang dibangun atas dasar ketakwaan sejak awal berdirinya. Sementara orang-orang yang berada di dalamnya adalah orang-orang yang selalu membersihkan diri mereka (QS. Attaubah [9]: 108).
Setelah masjid Quba’ berdiri dan menjadi pusat kegiatan umat Islam mulailah orang-orang munafik merasa tidak tenang atas persaudaraan yang erat di kalangan umat Islam. Mereka lantas membangun masjid Dhirar yang bagus di Madinah untuk memecah belah persaudaraan dan melemahkan persatuan umat Islam.
Allah melukiskan motivasi dibalik didirikannya masjid Dhirar tersebut dalam firman-Nya: “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang Mukmin) dan karena kekafiran-(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang Mukmin, serta menunggu/mengamat-amati kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu.” (QS. At-Taubah [9]: 107).
Mengetahui siasat buruk orang-orang munafik, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk membakar masjid tersebut. Kemudian Lokasi bangunan masjid Dhirar dijadikan tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang.
Demikian akhir dari masjid yang didirikan atas dasar kemunafikan dan niat yang tidak baik, niat untuk memecah belah umat Islam, melakukan propaganda-propaganda yang memicu permusuhan di antara sesama umat.
HTI jangan sebar berita boong saja ayo belajar ngaji lagi
Membakar tulisan Kalimah thayyibah seperti Kalimah tauhid atau kutipan ayat Al-Qur’an tanpa alasan yang dibolehkan adalah perbuatan dosa.
Adapun alasan yang dibolehkan antara lain: untuk menjaga kesuciannya dari keternodaan atau keterhinaan, setelah upaya menghapus dgn air tidak bisa atau tidak efektif
Ulama madzhab Syafi’iyah menghukumi makruh menulis kalimat Al-Quran, kalimat tauhid dan lainnya pada benda yang sekiranya sulit menjaga kemulian alimat-kalimat tersebut misalnya pada banner, bendera, undangan, baju, topi, dan lainnya. Bahkan ulama Malikiyah berpendapat haram karena akan menyebabkan kalimat-kalimat tersebut diremehkan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyah berikut;
“Ulam Syafiiyah dan sebagian ulama Hanafiyah berpendapat terhadap kemakruhan mengukir (menulis) dinding dengan Al-Quran karena dikhawatirkan jatuh di bawah kaki manusia. Sedangkan ulama Malikiyah berpandangan bahwa haram menulis Al-Quran dan nama Allah di atas dinding karena akan menyebabkan nantinya disepelekan.”
Apabila terlanjur ditulis pada benda tersebut, maka para ulama menyarankan dua tindakan untuk menjaga dan memuliakan kalimat-kalimat tersebut. Pertama, kalimat-kalimat tersebut dihapus dengan air atau lainnya. Kedua, benda tersebut dibakar dengan api.
Syaikh Zainuddin Al-Malibari mengatakan dalam kitabnya Fathul Mu’in, bahwa menghapus dengan air lebih utama dibanding membakarnya. Hal ini jika proses menghapus dengan air tersebut mudah dilakukan dan airnya tidak jatuh ke tanah. Namun jika sulit menghapusnya atau airnya jatuh ke tanah, maka membakarnya lebih utama.
Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj disebutkan;
“Membasuh lebih utama dibanding membakarnya. Ini jika mudah dan tidak dikhawatirkan airnya jatuh ke tanah. Jika sebaliknya, maka membakarnya lebih utama, (Bujairimi dengan ibarat Al-Bashri). Syaikh Izzuddin mengatakan, caranya ialah membasuhnya dengan air atau membakarnya dengan api. Sebagian ulama mengatakan, membakarnya lebih utama karena membasuh dengan air akan jatuh ke tanah.”
Paham sooon… Makane ngaji.. supaya gak asal ikut ngomel, gak asal marah… gak sok tampil kaya-kaya paling
Adapun alasan yang dibolehkan antara lain: untuk menjaga kesuciannya dari keternodaan atau keterhinaan, setelah upaya menghapus dgn air tidak bisa atau tidak efektif
Ulama madzhab Syafi’iyah menghukumi makruh menulis kalimat Al-Quran, kalimat tauhid dan lainnya pada benda yang sekiranya sulit menjaga kemulian alimat-kalimat tersebut misalnya pada banner, bendera, undangan, baju, topi, dan lainnya. Bahkan ulama Malikiyah berpendapat haram karena akan menyebabkan kalimat-kalimat tersebut diremehkan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyah berikut;
ذهب الشافعية وبعض الحنفية إلى كراهة نقش الحيطان بالقرآن مخافة السقوط تحت أقدام الناس ، ويرى المالكية حرمة نقش القرآن واسم الله تعالى على الحيطان لتأديته إلى الامتهان
“Ulam Syafiiyah dan sebagian ulama Hanafiyah berpendapat terhadap kemakruhan mengukir (menulis) dinding dengan Al-Quran karena dikhawatirkan jatuh di bawah kaki manusia. Sedangkan ulama Malikiyah berpandangan bahwa haram menulis Al-Quran dan nama Allah di atas dinding karena akan menyebabkan nantinya disepelekan.”
Apabila terlanjur ditulis pada benda tersebut, maka para ulama menyarankan dua tindakan untuk menjaga dan memuliakan kalimat-kalimat tersebut. Pertama, kalimat-kalimat tersebut dihapus dengan air atau lainnya. Kedua, benda tersebut dibakar dengan api.
Syaikh Zainuddin Al-Malibari mengatakan dalam kitabnya Fathul Mu’in, bahwa menghapus dengan air lebih utama dibanding membakarnya. Hal ini jika proses menghapus dengan air tersebut mudah dilakukan dan airnya tidak jatuh ke tanah. Namun jika sulit menghapusnya atau airnya jatuh ke tanah, maka membakarnya lebih utama.
Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj disebutkan;
والغسل أولى منه أي إذا تيسر ولم يخش وقوع الغسالة على الارض وإلا فالتحريق أولى بجيرمي عبارة البصري قال الشيخ عز الدين وطريقه أن يغسله بالماء أو يحرقه بالنار قال بعضهم إن الاحراق أولى لان الغسالة قد تقع على الارض
“Membasuh lebih utama dibanding membakarnya. Ini jika mudah dan tidak dikhawatirkan airnya jatuh ke tanah. Jika sebaliknya, maka membakarnya lebih utama, (Bujairimi dengan ibarat Al-Bashri). Syaikh Izzuddin mengatakan, caranya ialah membasuhnya dengan air atau membakarnya dengan api. Sebagian ulama mengatakan, membakarnya lebih utama karena membasuh dengan air akan jatuh ke tanah.”
Paham sooon… Makane ngaji.. supaya gak asal ikut ngomel, gak asal marah… gak sok tampil kaya-kaya paling
Bendera HTI tidak sama dengan bendera Rosulloh cara pengunaannya
Mengapa kita jarang sekali temukan lambang-lambang bertorehkan kalimat tauhid di acara-acara lingkungan pesantren? Lihat saja saat ada pagelaran imtihan, haflah, haul, pawai ta’aruf, istighotsah, maulid akbar, atau sejenisnya. Jarang sekali kita lihat kalimat tauhid tercetak di bendera, spanduk, kaos, peci, koko, sorban, apalagi ikat kepala.
Mengapa? Bukankah kalimat tauhid itu luhur? Apakah kalangan pesantren kurang ghirah keislamannya? Apakah mereka tidak bangga dengan ketauhidannya? Atau jangan-jangan mereka tidak suka kalimat tauhid?
Sebelum Anda menerka yang tidak-tidak, ada satu hal yang musti dipahami. Justru para kiai dan santri itu mungkin lebih akrab dengan kalimat tauhid daripada kita yang setiap hari pakai ikat kepala bertoreh lafal tauhid. Selain dikumandangan lima kali sehari saat adzan, kalimat tauhid juga diwiridkan dan diendapkan di alam bawah sadar mereka secara berjamaah tiap usai sembahyang.
Afdhaludz-dzikri fa’lam annahu; laa ilaaha illallaah. Diwiridkan serempak oleh imam dan makmum, ada yang 40 kali, 70 kali, atau 100 kali, kemudian dipungkasi dengan; ‘muhammadur-rasuulullaah’. Demikian lima kali sehari, belum lagi jika ada yang mengamalkan wirid tahlil tambahan.
Kalau demikian, mengapa jarang sekali terlihat simbol-simbol kalimat tauhid di gelaran-gelaran mereka?
Saya tidak berminat membahas gegeran simbol kalimat tauhid yang lagi ramai belakangan. Tidak pula hendak membahas penggunaan bendera tauhid sejak masa Rasulullah, para sahabat, hingga peran politisnya di masa kini. Ini hanya tulisan ringan yang sekedar menguak satu ‘tradisi’ kaum pesantren berkaitan dengan pelabelan kalimat tauhid. Yaitu tradisi ikhtiyath; kehati-hatian fikih.
Ikhtiyath bisa kita sebut sebagai tradisi moral kalangan santri dalam berfikih. Ikhtiyath inilah yang membuat mereka membuat kobokan kaki di luar tempat wudhu sebelum masuk masjid, memilih pakai mukenah terusan daripada potongan, pelafalan niat sebelum takbiratul ihram, koor niat puasa setelah Taraweh, memakai sandal khusus dari toilet ke tempat salat di rumah.
Apalagi dalam kaitannya dengan kalimat tauhid. Ada kehati-hatian fikih bagi kalangan santri agar tidak sembrono meletakkan kalimat suci tersebut di sembarang tempat. Bagi santri, kalimat tauhid adalah jimat dunia akhirat yang sangat luhur. Ia tidak boleh tercecer, tergeletak, terbuang, atau bertempat di lokasi kotor apalagi najis.
Jika ia dicetak di sandangan semisal kaos, baju, topi, atau bandana, dikuatirkan bisa bercampur najis ketika dicuci. Jika dicetak di spanduk-spanduk atau bendera temporer, dikuatirkan akan tercampakkan sewaktu-waktu. Kalau dicantumkan di lambang pesantren, akan menyulitkan saat membuat undangan, kartu syahriyah, baju almamater, dan lainnya. Apalagi jika dicetak di stiker-stiker. Di tempat-tempat tersebut, kalimat tauhid bisa sangat rawan terabaikan.
Bagi kalangan pesantren, kalimat tauhid hanya boleh dicantumkan di tempat-tempat spesial yang sekiranya bisa terjaga kehormatannya. Semisal panji peperangan yang tentu akan dijaga kibarannya hidup atau mati. Sebagaimana kisah dramatis Sayyidina Ja’far Ath-Thayyar. Atau bendera kerajaan yang tentu akan dirawat dan dimuliakan, sebagaimana bisa kita lihat di kasunanan Cirebon.
Almarhum simbah Kiai Zainal Abidin Krapyak Jogja termasuk sosok yang sangat ketat dalam hal ikhtiyath perkara tauhid. Beliau selalu tutup mata jika lewat Jalan Magelang yang di kiri kanannya penuh patung-patung ‘makhluk bernyawa’. Beliau selalu berpaling kalau ada tanda palang salib, juga tidak berkenan dengan atribut-atribut semacam akik atau yang identik dengan perjimatan. Ngregeti iman, kata beliau. Kalimat tauhid tidak lagi berkibar di spanduk atau ikat kepala, melainkan sudah terpatri kuat di dalam sanubari beliau.
Kalimat tauhid, bagi Mbah Zainal, sama sucinya dengan mushaf Quran. Bahkan saya menyaksikan sendiri, dingklik (tatakan kayu) yang biasa digunakan untuk membaca Quran pun beliau muliakan. Pernah suatu kali hendak salat jamaah Isya di bulan Ramadan, ada satu dingklik yang tergeletak di belakangku. Ketika beliau lewat, dingklik itu beliau pindah ke sampingku agar tidak kubelakangi.
Bahkan tulisan ‘almunawwir’ pun sangat beliau muliakan, sebagaimana dikisahkan oleh Kang Tahrir, santri ndalem Mbah Zainal. Memang lazim di Krapyak, kami membuat stiker kecil bertulis ‘almunawwir community’. Fungsi stiker ini untuk menandai kendaraan santri sehingga mudah dikenali. Biasanya dipasang di spidometer, plat nomor, atau body sepeda motor.
Nah, menurut penuturan Kang Tahrir, Mbah Zainal tidak berkenan jika melihat ada nama ‘almunawwir’ kok dipasang di slebor, lebih rendah dari lutut, atau tempat-tempat lain yang kurang pantas. Biar bagaimanapun, ‘almunawwir’ adalah nama pesantren sekaligus nama pendirinya yang merupakan ulama besar ahli Quran Nusantara, simbah Kiai Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad.
Demikian hati-hatinya sikap beliau terhadap nama ‘almunawwir’. Lebih-lebih terhadap ayat-ayat Quran, hadits Nabi, dan kalimat tauhid. Maka bagi teman-teman yang sedang hobi menunjukkan identitas keislaman dengan atribut berlabel kalimat tauhid, mohon dijaga dengan baik agar benda-benda tersebut tidak tercampakkan. (Oleh: Zia Ul Haq bertajuk “Ikhtiyath Kalimat Tauhid”/)
Sumber : http://www.muslimoderat.net/2018/10/kalimat-tauhid-dijadikan-wirid-oleh.html#ixzz5Uj8uZ17e
Mengapa? Bukankah kalimat tauhid itu luhur? Apakah kalangan pesantren kurang ghirah keislamannya? Apakah mereka tidak bangga dengan ketauhidannya? Atau jangan-jangan mereka tidak suka kalimat tauhid?
Baca juga:
- Jika ingin Menguasai Orang Bodoh, Bungkuslah sesuatu yang Batil dengan Agama
- Diangkat Menjadi Waliyullah Karena Sabar Menghadapi Isteri yang Super Cerewet
- Peringati Hari Santri, GP Ansor Rembang Bersihkan Pantai Sepanjang 7,1 Kilometer
- Kalimat Tauhid, Dijadikan Wirid Oleh Banser NU, Hanya Dijadikan Spanduk Oleh HTI
Sebelum Anda menerka yang tidak-tidak, ada satu hal yang musti dipahami. Justru para kiai dan santri itu mungkin lebih akrab dengan kalimat tauhid daripada kita yang setiap hari pakai ikat kepala bertoreh lafal tauhid. Selain dikumandangan lima kali sehari saat adzan, kalimat tauhid juga diwiridkan dan diendapkan di alam bawah sadar mereka secara berjamaah tiap usai sembahyang.
Afdhaludz-dzikri fa’lam annahu; laa ilaaha illallaah. Diwiridkan serempak oleh imam dan makmum, ada yang 40 kali, 70 kali, atau 100 kali, kemudian dipungkasi dengan; ‘muhammadur-rasuulullaah’. Demikian lima kali sehari, belum lagi jika ada yang mengamalkan wirid tahlil tambahan.
Kalau demikian, mengapa jarang sekali terlihat simbol-simbol kalimat tauhid di gelaran-gelaran mereka?
Saya tidak berminat membahas gegeran simbol kalimat tauhid yang lagi ramai belakangan. Tidak pula hendak membahas penggunaan bendera tauhid sejak masa Rasulullah, para sahabat, hingga peran politisnya di masa kini. Ini hanya tulisan ringan yang sekedar menguak satu ‘tradisi’ kaum pesantren berkaitan dengan pelabelan kalimat tauhid. Yaitu tradisi ikhtiyath; kehati-hatian fikih.
Ikhtiyath bisa kita sebut sebagai tradisi moral kalangan santri dalam berfikih. Ikhtiyath inilah yang membuat mereka membuat kobokan kaki di luar tempat wudhu sebelum masuk masjid, memilih pakai mukenah terusan daripada potongan, pelafalan niat sebelum takbiratul ihram, koor niat puasa setelah Taraweh, memakai sandal khusus dari toilet ke tempat salat di rumah.
Apalagi dalam kaitannya dengan kalimat tauhid. Ada kehati-hatian fikih bagi kalangan santri agar tidak sembrono meletakkan kalimat suci tersebut di sembarang tempat. Bagi santri, kalimat tauhid adalah jimat dunia akhirat yang sangat luhur. Ia tidak boleh tercecer, tergeletak, terbuang, atau bertempat di lokasi kotor apalagi najis.
Jika ia dicetak di sandangan semisal kaos, baju, topi, atau bandana, dikuatirkan bisa bercampur najis ketika dicuci. Jika dicetak di spanduk-spanduk atau bendera temporer, dikuatirkan akan tercampakkan sewaktu-waktu. Kalau dicantumkan di lambang pesantren, akan menyulitkan saat membuat undangan, kartu syahriyah, baju almamater, dan lainnya. Apalagi jika dicetak di stiker-stiker. Di tempat-tempat tersebut, kalimat tauhid bisa sangat rawan terabaikan.
Bagi kalangan pesantren, kalimat tauhid hanya boleh dicantumkan di tempat-tempat spesial yang sekiranya bisa terjaga kehormatannya. Semisal panji peperangan yang tentu akan dijaga kibarannya hidup atau mati. Sebagaimana kisah dramatis Sayyidina Ja’far Ath-Thayyar. Atau bendera kerajaan yang tentu akan dirawat dan dimuliakan, sebagaimana bisa kita lihat di kasunanan Cirebon.
Almarhum simbah Kiai Zainal Abidin Krapyak Jogja termasuk sosok yang sangat ketat dalam hal ikhtiyath perkara tauhid. Beliau selalu tutup mata jika lewat Jalan Magelang yang di kiri kanannya penuh patung-patung ‘makhluk bernyawa’. Beliau selalu berpaling kalau ada tanda palang salib, juga tidak berkenan dengan atribut-atribut semacam akik atau yang identik dengan perjimatan. Ngregeti iman, kata beliau. Kalimat tauhid tidak lagi berkibar di spanduk atau ikat kepala, melainkan sudah terpatri kuat di dalam sanubari beliau.
Kalimat tauhid, bagi Mbah Zainal, sama sucinya dengan mushaf Quran. Bahkan saya menyaksikan sendiri, dingklik (tatakan kayu) yang biasa digunakan untuk membaca Quran pun beliau muliakan. Pernah suatu kali hendak salat jamaah Isya di bulan Ramadan, ada satu dingklik yang tergeletak di belakangku. Ketika beliau lewat, dingklik itu beliau pindah ke sampingku agar tidak kubelakangi.
Bahkan tulisan ‘almunawwir’ pun sangat beliau muliakan, sebagaimana dikisahkan oleh Kang Tahrir, santri ndalem Mbah Zainal. Memang lazim di Krapyak, kami membuat stiker kecil bertulis ‘almunawwir community’. Fungsi stiker ini untuk menandai kendaraan santri sehingga mudah dikenali. Biasanya dipasang di spidometer, plat nomor, atau body sepeda motor.
Nah, menurut penuturan Kang Tahrir, Mbah Zainal tidak berkenan jika melihat ada nama ‘almunawwir’ kok dipasang di slebor, lebih rendah dari lutut, atau tempat-tempat lain yang kurang pantas. Biar bagaimanapun, ‘almunawwir’ adalah nama pesantren sekaligus nama pendirinya yang merupakan ulama besar ahli Quran Nusantara, simbah Kiai Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad.
Demikian hati-hatinya sikap beliau terhadap nama ‘almunawwir’. Lebih-lebih terhadap ayat-ayat Quran, hadits Nabi, dan kalimat tauhid. Maka bagi teman-teman yang sedang hobi menunjukkan identitas keislaman dengan atribut berlabel kalimat tauhid, mohon dijaga dengan baik agar benda-benda tersebut tidak tercampakkan. (Oleh: Zia Ul Haq bertajuk “Ikhtiyath Kalimat Tauhid”/)
Sumber : http://www.muslimoderat.net/2018/10/kalimat-tauhid-dijadikan-wirid-oleh.html#ixzz5Uj8uZ17e
Minggu, 21 Oktober 2018
Makam wali wali di indonesia
Berikut Daftar Nama dan Alamat Ziarah Wali, lokasi diurutkan berdasarkan abjad versi mistikus sufi dan tambahan dari MusliModerat, jika masih kurang silahkan tambah di Kolom Komentar
Aceh
- Syaikh Abdul Rouf Lekal – Samudra Pasai, Pasai, Aceh
- Malikul Dhohir – Perlak Aceh
- Al Malikul Saleh – Samudra Pasai, Aceh Pasai
- Teuku Umar – Meulaboh Aceh Besar
- Habib Abu Bakar bin Husein Balfaqih (Tgk Dianjong)
- Teuku Cik Di Tiro – Takengon Aceh Besar
- Sultan Alaiddin Syah Perlak
- Tengku Chik Tanoh Abe Al Baghdadi di Aceh Besar
- Syaikh Muda Waly Al Khalidy di Labuhan Haji Aceh Selatan
- Tuanku Peulumat Masyhur Keramat di daerah Labuhan Haji Aceh Selatan
- Abu Ibrahim Wayla Waliyullah Keramat di Woyla Melaboh
- Ratu Nahrisyah di Samudera Pasai
- Tengku Sa’di Guru Sunan Gunung Jati di Samudera Pasai
Bali
- Mbah Singaraja – Singaraja
- Pangeran Mas Sepuh (Raden Amangkuningrat) – Keramat Pantai Seseh
- Dewi Khodijah (Ratu Ayu Anak Agung Rai) – Keramat Pamecutan Jalan Batu Karu Pamecutan
- Pangeran Sosrodiningrat Senopati – Ubung Dekat terminal bus Denpasar
- Habib Umar bin Yusuf Al Maghribi – Tabanan Keramat di Bukit Bedugul
- Habib Ali bin Abu Bakar Al Hamid – Kelungkung Dawah, Kusamba
- Maulana Yusuf Al Baghdi Al Maghribi – Karangasem Bebandem, Bungaya
- Ali bin Zaenal Abidin Al Idrus – Karangasem Bebandem, Bungaya
Bandung
- Sumur Bandung – Kota Cikapungdung
- Gunung Cibuni – Cibuni Bandung
Banjarmasin
Sayid Ali Al-Haddad
Banten
- Syaikh Maulana Manshuruddin – Cikaduen Pandeglang
- Syaikh Asnawi – Labuan Ciwaringin Pandeglang
- Mbah Dimyati – Pandeglang
- Sultan Hasanuddin – Kasemen Serang
- Syaikh Yusuh bin Hasanuddin – Kasemen Serang
- Syaikh Muhyi – Panjalu
Banyumas
- Syaikh Maulana Rumaini Mbah Kalibening – Dawuhan
- Mbah Gala Gamba – Dawuhan
- Mbah ‘Ali besari – Dawuhan
- Mbah Lambak- Dawuhan
- Mbah Joko Kaiman Adipati Mrapat – Dawuhan
- Mbah Nur Sulaiman – Dawuhan
Banyuwangi
- Datuk Ibrahim – Lateng Alas Purwo Muncar
- Datuk Abdurrohim – Banyuwangi
- Sayid Ahmad – Lateng
- Mbah Abdurrohman – Lateng
- Habib Hadi Al-Hadad – Ketapang
- Syaikh Dahlan – Kesilir
- Syaikh Muhyiddin – Blok Agung
- Mbah Wali Marhasan – Sumber Kepuh
- Kyai Thohir – Banyuwangi
- Kyai Iskandar – Banyuwangi
- Mbah Abdul Manan – Berasan
- Datuk Abdul Rohim – Banyuwangi
- Syaikh Mukhtar Syafaat Abdul Ghofur – Blok Agung
Batam
Datuk Abdulloh – Batam
Batang
Ki Ageng Gringsing – Gringsing
Bekasi
- Mbah Toyyib – Kampungutan
- K.H. Muhajirin – Kampung Baru
- KH R Umar. (Mbah Guru Keneng) – Ceger
- KH Noer Ali – Ujung Menteng
Blitar
- Mbah Dimyati – Wlingi
- Presiden Soekarno – Blitar Kota
- Mbah Kyai Kholil – Nggembongan
- Mbah Kyai Abd. Ghofur – Mantenan
- Mbah Kyai Ahya’ – Srengat, Kunir
- Mbah Imam Hambali bin Ahmad – Cemandi, Kunir
- KH Shodiq Damanhuri - Sanan Gondang, Gandusari
- Syekh Subakir - Penataran, Nglegok
Bogor
- Habib Alwi Al Attas – Empang
- Habib Abdulloh bin Mukhsin Alathos (Kramat Empang)
- Sayyidil Walid al Imam Alhabib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf,
- Habib Mukhsin bin Habib Abdulloh
- Habib Husain bin Habib Abdulloh
- Habib Zein bin Habib Abdulloh
- Habib Abubakar bin Habib Abdulloh
- Syarifah Nur binti Habib Abdulloh
- Habib Alwi bin Muhammad bin Tohir Alhaddad (murid Habib Abdulloh bin Mukhsin Alathos)
- KH.Mbah Siban – Parung
Bojonegoro
Mbah Hamid M. (Minak Lelono) Padangan
Brebes
- Mbah Ruby – Klampok Losari
- Mbah Junaedi al Baghdadi – Randu Sanga
Cianjur
Ario Wiratnudatar – Cikundul W. Cikalong
Cilegon
Gunung Santri – Banjarnegara
Cirebon
- Sunan Gunung Jati (Raden Syarif Hidayatulloh) – Astana Gunungjati
- Syaikh Megelung – Karangkendal
- Syaikh Datul Kahfi – Astana Gunung Jati
- Mbah Imam Hanafi – Astana Gunung Jati
- Pangeran Cakrabuana
- Syaikh Nur Jati
Demak
- Sunan Kalijaga (Raden Syahid) – Kadilangu Kota
- Raden Fatah – Bintoro Kota
- Mbah Kyai Abdul Hadi – Giri Kusumo Mranggen
Depok
- Pejuang Islam Ratu Pembayun Putri Panembahan Senopati Mataram di Tapos Depok
- Utari Sandijayaningsih Pembunuh Jendral JP Coen di tahun 1629, makamnya di Tapos Depok, beliau adakah cucu dari Roro Pembayun muridnya Pangeran Benawa Joko Tingkir
Garut
- R. Kian Santang – Suci Godog Garut
- Pangeran Papak – Garut
Gresik
- Sunan Gresik (Syaikh Maulana Malik Ibrahim) – Jl. Malik Ibrahim Kota Gresik
- Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) – Giri Kebomas
- Sunan Prapen – Klangenan Kebomas
- Gua Sunan Kalijaga – Gua Surowiti Panceng
- Habib Abu Bakar – Jl. Kauman Gresik Kota
- Nyai Siti Fatimah – Leran Manyar
- Sunan Prapen – Klangonan Kebomas
Grobogan
Kyai Ageng Selo (Mbah Kholil) – Grobogan Purwodadi
Indramayu
Ki Buyut Tambi – Tambi Jatibarang
Jakarta
- Habib Ali Al Habsy (Habib Kwitang) – Perempatan Senen, Kwitang Jakarta Pusat
- Al-Habib Ahmad bin Alwi Al-Haddad (Habib Kuncung) – Jl. Rajawali I Pasar Minggu Jakarta Selatan
- Pangeran Jayakarta – Pulogadung Klender Jakarta Timur
- Pangeran Jayakarta – Jl. Jatinegara Kaum Jatinegara Jakarta Timur
- Habib Husain – Luarbatang Pasar ikan Jakarta Utara
- Habib Hasan bin Muhammad Al Hadad (Mbah Priok) – Koja, Terminal Peti Kemas Tanjung Priok Jakarta Utara
- Habib Husein bin Abubakar Alaydrus – Jl. Luar Batang V Penjaringan Jakarta Utara
- Habib Salim bin Sumair Al-Hadhromi (Pengarang kitab Safinah) – di bawah Mihrab Masjid Al-Ma’mur Tanah Abang Jakarta
- Habib Usman bin Yahya – Duren Sawit
- Al Habib Munzir Al Musawa – Jl. Rajawali I Pasar Minggu Jakarta Selatan
Uraian selengkapnya Ziarah Makam Wali di Jakarta
Jember
- Kyai Abdul Aziz – Tempurejo
- Mbah Kyai Siddiq – Condro
- Habib Sholeh bin Muhsin – Tanggul
Jepara
- Sultan Hadirin, Ratu Kalinyamat dan Sunan Jepara (Raden Abdul Jalil) – Mantingan Kota Jepara
- Mbah Dimyati Syukri – Demeling Mlonggo
- Makam Citrosomo – Makam Para Adipati/Bupati yang pernah memimpin Jepara. Terdapat makam keluarga besar R.A Kartini dan makam Habib Muhammad bin Abdurrahman Assegaf – Desa Sendang Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara.
- Syaikh Siti Jenar – Desa Kelet Kecamatan Keling Kabupaten Jepara
- Syaikh Jafar Sodiq Al Idrus (Yek Nde) – Jl. Goa Kencana Desa Kriyan Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara.
- Mbah Roboyo – Desa Robayan Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara
- Datuk Gunardi – Desa Singorojo Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara
- Habib Ali – Desa Pelemkerep Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara
- Ronggo Kusumo – Desa Manyargading Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara
- Syaikh Abu Bakar Bin Yahya – Pulau Panjang Kabupaten Jepara
- Pangeran Syarif dan Mbah Jenggolo – Desa Saripan Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara
- Mbah Sabilan Abdur Rahman – Kelurahan Demaan Jepara.
- Mbah Datuk Kramat – Dekat Pasar Apung Kelurahan Demaan Jepara.
- Ratu Bagus – Kelurahan Karang Kebagusan Jepara
- Kyai Shobiburrohman (Mbah Shobib) dan H. Anwar Bin Kadam – Desa Menganti Kecamatan Kedung Jepara.
- Mbah Mangun Sejati – Desa Bugel (belakang Masjid Bugel) Kecamatan Kedung Jepara.
- Ki Gede – Pinggir kiri jalan raya Bangsri – Kembang
- Kyai Ahmad Fauzan dan Kyai Amin Sholeh – Kecamatan Bangsri Jepara.
- Syaikh Amir Hasan (Sunan Nyamplungan) – Kepulauan Karimunjawa Kabupaten Jepara
- Mbah Sunan Pakis Aji (Habib Abdurrahman Al Idrus) – Desa Potroyudan Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara
- Syaikh Habib Hasan bin Ibrahim Al Hasni – Desa Kuwasen Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.
- Kyai Nawawi dan Kyai Ibnu Sahil Nawawi (Mbah Sahil) – Desa Sinanggul Kecamatan Mlonggo Jepara.
- Sayyid Ahmad Ali Kosim – Desa Sinanggul Kecamatan Mlonggo Jepara.
Jombang
- Mbah As’ari – Mojoagung Jombang
- Mbah Mursidin – Mojoagung Jombang
- Mbah Alif – Mojoagung Jombang
- Sayyid Sulaiman bin Dawud – Betek Mojoagung Jombang
- Mbah Damanhuri Betek – Betek Mojoagung Jombang
- Sunan Ngudung – Mojoagung Jombang
- Mbah Kyai Romli Tamim – Peterongan Jombang
- Kyai Hasyim Asy’ari – Tebuireng Jombang
- KH. Abdurrahman Wahid Adhakil (Gus Dur) – Tebuireng Jombang
- Mbah Kyai Amin – Bareng Jombang
Kalimantan
- Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari
- Syaikh Abu Musa Al Banjari – Kuantan Martapura Kalimantan Selatan
- Syaikh M.Nafis
- KH Muhammad Zaini (Guru Sekumpul)
- Syaikh Muhammad Khattib – Sammbas
- Datu Sanggul
- Datu Ambulung
- Datu Sanggu
- Habib Basirih
Kediri
- Syaikh Maulana Abdul Qodir Khoiri bin Isma’il Iskandariyah – Tambak Ngadi Mojo
- Syaikh Maulana Abdulloh Sholih Istambul – Tambak Ngadi Mojo
- Syaikh Maulana Abdulloh Sholih Istambul – Tambak Ngadi Mojo
- Syaikh Muhammad Hirman Arruman – Tambak Ngadi Mojo
- KH. Anis Ibrohim – Tambak Ngadi Mojo
- KH. Ahmad Siddiq – Tambak Ngadi Mojo
- Kyai Bani Askar – Tambak Ngadi Mojo
- KH. Hamim Djazuli – Tambak Ngadi Mojo
- KH. Imam Thoha – Tambak Ngadi Mojo
- KH. Yasin Yusuf – Tambak Ngadi Mojo
- Kyai Ma’ruf Alhafidh – Tambak Ngadi Mojo
- KH. Muslim Manan – Tambak Ngadi Mojo
- KH. Rohmad Zuber – Tambak Ngadi Mojo
- M. Asmun’i – Tambak Ngadi Mojo
- Nyai Hj. Mardliyah – Tambak Ngadi Mojo
- KH. Muslim Manan – Tambak Ngadi Mojo
- KH. Rohmad Zuber – Tambak Ngadi Mojo
- M. Asmun’i – Tambak Ngadi Mojo
- Mbah Kyai Imam Nawawi – Tambak Ngadi Mojo
- Mbah Kyai Imam As’ari – Tambak Ngadi Mojo
- Mbah Kyai Abdulloh Mun’im – Kemayan Mojo
- Mbah Kyai Abd. Basyir – Kemayan Mojo
- Mbah Kyai Abd. Hasyim – Kemayan Mojo
- Habib Moh. Thohir Baabud – Pelem Mojo
- Mbah Kyai Yahya – Baran Mojo
- Mbah Kyai Imam Maki – Karangkates Mojo
- Mbah Kyai Jazuli Usman – Ploso Mojo
- Mbah Kyai Abdul Jalil (Joyo Ulomo) – Mojo
- Mbah Kyai Abd. Jamal – Batokan Mojo
- Mbah Mukhtar Abd. Hamid – Randulawang
- Mbah Kyai Ma’sum – Randulawang
- Mbah Kyai Abu Bakar – Bandarkidul
- Mbah Kyai Mundir Bahri – Bandarkidul
- Mbah Kyai Ali Ma’lum – Bandar Mlati
- Mbah Kyai Abd. Majid – Kedunglo
- Mbah Kyai Ma’ruf – Kedunglo
- Mbah Kyai Marzuqi – Lirboyo
- Mbah Kyai Mahrus Ali – Lirboyo
- Mbah Kyai Abd Manaf Karim – Lirboyo
- Mbah Kyai Ya’qub – Lirboyo
- Mbah Sulaiman Washil – Setonogedong
- Mbah Jumadilkubro – Mbetek
- R. Syarifuddin Mangkuyudo – Mbetek
- Jakfar Umaiyah Darmoyudo – Mbetek
- Mbah Abdul Qodir – Setonogedong
- Mbah Kyai Ageng Abdulloh Mursyad – Mrican Setonolandean
- Mbah Kyai Dahlan – Mutih
- Mbah Nyai Ujang Sholih – Mutih
- Mbah Kyai Ihsan Nawawi bin Dahlan – Jampes Mutih
- Gus Baji – Mutih
- Mbah Kyai Abdulloh Umar – Sumberdringo
- Mbah Kyai Badrussholih – Purwoasri
- Kyai Zamroji – Kencong Pare
- Mbah Hasan Muchyi – Kapurejo Pagu
- Mbah Yasir – Kapurejo
- Mbah Yai Ilyas – Kapurejo
- Mbah Yai Muhammad Shodiq – Kapurejo
- Mbah Qusairi – Kapurejo
- Mbah Khozin – Bendo Pare
- Mbah Chayatul Makky – Bendo Pare
- Mbah Syarwani – Bendo Pare
- Sunan Geseng – Kampung Dalem
- Kyai Munif Djazuli -Ploso Mojo
- Kyai Mahfudz Siraj -Ploso Kediri
Kendal
- Sunan Katong – Kaliwungu
- Sunan Bromo di Bebengan Kecamatan Boja Kabupaten Kendal
- Kyai Mandurorejo (Bupati Pekalongan I) Protomulyo Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal
- Wali Gembyang di Patukangan Kota Kendal
- Wali Joko di Komplek Masjid Agung Kendal
- Wali Hadi di Komplek Masjid Agung Kendal
- Pangeran Djoeminah di Kaliwungu
- Tumenggung Mertowijoyo (Bupati Kendal VIII / Kyai Kendil Wesi) di Sukolilan Patebon Kendal
- Sunan Abinowo di Pekuncen Pegandon
- Kyai Asy’ari di Kaliwungu
- Petilasan Krapyak di Jatirejo Ngampel Kendal
- Pengeran Benowo di Pekuncen Pegandon Kendal
Kerawang
- Syaikh Qurrotul’ain – Pulau Bata Wuadas
- Singa Perbangsa – Leran Wuadas
Klaten
- Khoiri Dawud – Sekawetan Tembayat
- Sunan Bayat (Mbah Ihsan Nawawi) – Jabalekat Tembayat
- Kyiai Sgeng Gribik – Jatinome
- Kyai Dardiri (Raden Ronggo Warsito) – Palar
Kudus
- Abu Hasan Syadli – Ngrejenu Dawe
- Kaliyetno – Ternadi Dawe
- Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) – Jl. Menara Kudus Kota
- Sunan Muria (Raden Umar Said) – Colo/Muria Dawe
- Mbah Kyai Arwani Amin – Kudus Kota
- Mbah Kyai Telingsing
Kulonprogo
Sunan Geseng
Sunan Geseng
Lamongan
- Sunan Drajat (Raden Qosim) – Drajat Paciran
- Maulana Ishak – Kemantren Paciran
- Maulana Mansyur – Sendang Duwur Paciran
- Mbah Deket (Sunan Lamongan) – Desa Deket Kecamatan Deket
- Mbah Lamong (Rangga Hadi) – kota Lamongan
- Sunan Sendang Duwur (Raden Nur Rahmat) – Desa Sendang Duwur Kecamatan Paciran
- Pangeran Sedamargi – Mantup
- Panembahan Agung Singodipuro – Dusun Badu, Desa Wanar Kecamatan Pucuk
- Mbah Barang – Baturono Karangbinangun
- Makam Santri di Tenggulun Paciran
Lampung
- Raden Intan – Kalianda Lampung Selatan
- Ratu Darah Putih – Penengahan Lampung Selatan
- Haji A. Bakar – Suteng Teluk Betung Lampung Selatan
- Haji Subana – Suteng Teluk Betung Lampung Selatan
- Syaikh Ahmad Hasanudin – Kaki Gunung Rajabasa Kalianda Lampung Selatan
- KH. Gholib – Tanggamus Lampung Selatan
- Gajah Mada – Kota Gajah Lampung Tengah
- Tubagus Ali Menggala – Tulang Bawang Lampung Utara
Lombok
- Makam Batu Layar
- Makam Loang Baloq
- Makam Selaparang
- Makam di Masjid Kuno Bayan Beleq
- Makam Keramat Cemare
- Makam Wali Nyatog
Uraian selengkapnya Ziarah Makam Di Lombok
Madiun
- Mbah Anom Besyari – Grabahan Kuncen Caruban
- Mbah Abiyoso – Pertapaan Ngukiran Awangrejo Caruban
- Mbah Bagus Harun (Syaikh Basyariyyah) – Sewulan
- Mbah Kanjeng bin Oemar – Banjarsari
- Syaikh Abdurrohman/Syaikh Abdulloh – Slambur Geger
- Syaikh Ahmad bin Muhammad – Jati Lawang Dolopo
- Kyai M. Thohir Besyari – Kepuhbeluk Kebonsari
- Syaikh Zainal Abidin – Jogodayuh Geger
- Kyai Munirul Ikhwan – Kembangsawit Kebonsari
- Mbah Chudlori – Setemon Kebonsari
- Mbah Ali Rohmad – rejosari
Madura
- Mbah Basaniyah – Batu Ampar
- Mbah Abu Syamsudin – Batu Ampar
- Kyai Ahmad Joko Tole – Sumenep
- Mbah Kyai Kholil – Bangkalan
- Sayyid Yusuf – Sumenep
- Sayyid Abdurrohman – Madura
- Sayyid Syarifuddin – Bujuksara Bangkalan
- Syarifah Ambami – Bangkalan
- Sunan Cendana (Sayyid Zainal Abidin) – Kwanyar Sumenep
- Syaikh Muhlis – Batu Ampar
- Sayyid Usman – Pajegan Tamberu Pamekasan
Uraian selengkapnya Ziarah Wali Di Madura
Magelang
- Syaikh Subakir – Puncak Gunung Tidar
- Mbah Jogoreso – Muntilan
- Syaikh Subakir – Tidar
- Mbah Hasan As’ari – Mangli
- Mbah Kyai Dalhar – Watucongol
- Mbah Raden Santri – Gunung Pring
- Mbah Ma’sum – Salaman
- Mbah Kyai Abd. Hamid – Kajoran
Magetan
Mbah Baidlowi – Gunung Bancak Giri Purno
Makasar
Syaikh Yusuf Al Makasari (Pendiri Tarekat Khalwatiyah yusuf)
Malang
- Mbah Dulngadim Baidowi – Ngantang
- Kyai Zakaria (Mbah Njugo) – Gunung Kawi
- Mbah Imam Sujono – Gunung Kawi
- Ki Ageng Gribig – Madyopuro Malang
- Mbah Mbatu Bumiaji – Batu Malang
- Habib Abdul Qodir Bilfaqih – kompleks Makam Kasin
- Al imam Al Qutub Sayidil Walid Al Habib Abdullah bin Abdulqodir Bil Faqih
- KH. Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al-Mahbub Rahmat Alam – Sananrejo Turen
Mojokerto
Makam Troloyo Desa Sentono Rejo Kecamatan Trowulan Mojokerto
Mojoagung
Sayyid Sulaiman Basyaiban
Mojoagung
Sayyid Sulaiman Basyaiban
Nganjuk
- Syaikh Kyai Ageng Aliman Muhyiddin Fatah – Ngliman Sawahan
- Mbah Fatkhur Rohman – Poleng Brebek
- Mbah Mahfud Khoiri – Ampel Ngliman
- Mbah Nur Kholifah – Sitores Sawahan
- Amir Mahmud – Ngliman
- Sayyid Abu Khoiri – Patihan Rowo Sawahan
- Kyai Mustajab – Grompol Prambon
- Mbah Kyai Zaenuddin – Mojosari
- Syaikh Sulukhi – Wilangan
- Mbah Kyai Hakim – Sekar Putih
Ngawi
- Syaikh Maulana Muhammad Al-Misri – Gerih Kedungrejo I, Guyung, Ngawi
- Syaikh Maulana Sahid Al-Mukti – Gerih Kedungrejo I, Guyung, Ngawi
- Syaikh Maulana Sahid Al-Bakir – Gerih Kedungrejo I, Guyung, Ngawi
- Syaikh Maulana Al-Ngalawi – Gerih Kedungrejo I, Guyung, Ngawi
- Syaikh Maulana Ahmad Muhammad – Gerih Kedungrejo I, Guyung, Ngawi
- KH. Muhammad Nursalim – Benteng Pendem Van Den Bosh
Pacitan
Mbah Mughofar – Manten
Abdul Manan atturmusi - Tremas
Abdul Manan atturmusi - Tremas
Palembang
- Habib Abdurrahman bin Husin bin Hasan Maula Taqoh (Al-Idrus) – Pemakaman Tanah Tengkurep
- Habib Muhammad Bin Yusuf Al Angkawi – Pemakaman Tanah Tengkurep
- Habib Myuhammad bin Ali AL Haddad (Datuk Murni Al Haddad) – Pemakaman Tanah Tengkurep
- Al Habib Aqil bin Alwi – Pemakaman Tanah Tengkurep
- Habib Abdullah bin Aqil Al Mandihij – Pemakaman Tanah Tengkurep
- Hubabah Syai Nisa Binti Abdullah Al Mandihij – Pemakaman Tanah Tengkurep
- Habib Muhammad bin Ahmad Al Habsyi – Pemakaman Tanah Tengkurep
- Habib Ibrahim bin Zain bin Yahya – Pemakaman Kambang Koci
- Raden Ayu Aisyah Binti Sultan Mahmud Badarruddin I – Pemakaman Kambang Koci
- Habib Abdurrahman bin Hasan Al Habsyi – Pemakaman Kambang Koci
- Habib Abdurrahman bin Hasan Al Aidarus – Pemakaman Kambang Koci
- Habib Syaikh bin Hasan Al Aidarus (Kyai Geding) – Pemakaman Kambang Koci
- Habib Syaikh bin Ahmad bin Shahabudin – Pemakaman Kambang Koci
- Habib Alwi bin Ahmad Al Kaf – Pemakaman Kambang Koci
- Habib Muhammad bin Abdurrahman Al Munawar – Pemakaman Kambang Koci
- Habib Ali bin Abdurrahman Al Munawwar – Pemakaman Kambang Koci
- Habib Abdullah bin Salim Al Kaf – Pemakaman Kambang Koci
- Habib Syaikh bin Alwi Al Kaf – Pemakaman Kambang Koci
- Habib Sulaiman bin Abdullah Al Khirid – Pemakaman Kambang Koci
- Sayyid Umar bin Ali Al Junaid – Pemakaman Kambang Koci
- Habib Abdullah bin Ali Al Kaf – Pemakaman Kambang Koci
- Sayyid Ali (Mangku Kusobo) – Pemakaman Kambang Koci
- KH Abdul Hamid (Kyai Merogan)
- KH Abdullah Azhari (Kyai Pedatuan)
- Syaikh Abdul Somad Falembani
- KH Zen Syukri
- KH Umar Thoyib
- Sayyid Al Allamah Abdurrahman (Jaya Wijaya) – Pemakaman Kambang Koci
Pasuruan
- Mbah Abdul Hamid – Jl. Abdul Hamid Pasuruan Kota
- Guru Bangil Syarwani Abdan al Banjar
- Sayid Arif – Segoropuro
- Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf – Pasuruan
- Sayyid Sanusi – Pasuruan
- Syaikh Hasan Bashri – Pasuruan
Pati
- Syaikh Ahmad Mutamakin – Kajen Margoyoso
- Syaikh Jangkung – Landoh Kayen
- Sunan Prawoto – Sukolilo Prawoto
- Mbah Kyai Ronggo Kusumo – Ngemplak Margoyoso
- Kyai Ageng Giringan – Pundenrejo Tayu
- Kyai Sholeh Amin – Tayu
- Habib Alwy Ahmad Ba’alawy – Pungel
- Habib Mahdum Al-Athos Pati
- Habib Abdurrohman Ba’alawy – Banyutowo Dukuh Seti Pati
Pekalongan
- Habib Ahmad – Sapuro
- Habib Hasyim Bin Yahya – Sapuro
Pemalang
- Mbah Haji Nur Asnawi – Muga Bating Walang Songo
- Mbah Bantar Bolang
- Syaikh Pandan Jati
- Syaikh Maulana Syamsudin
- Kyai Ahmad M. Abdulloh – Muga Bating Walang Songo
Ponorogo
- Bethoro Katong – Ponorogo
- Mbah Kyai Ageng Mohammad Hasan Besyari – Tegalsari Jetis
- Mbah Hasan Anom – Jetis
- Mbah Kyai Zarkasi – Gontor
- Mbah Kyai Sahal – Gontor
Probolinggo
Mbah Nur Hasan – Genggong
Purwodadi
- Joko Tarub – Tarub Ngantru
- Ki Ageng Selo – Selo Ngantru
- Mbah Ganjur Siroyuddin – Nggubuk
Purwokerto
- Syaikh Mahdum Ali – Ranji Kebumen
- Syaikh Abdul Malik
Purbalingga
Mbah Wali Perkasa di Desa Pekiringan, Kec. Karangmoncol
Mbah Wali Perkasa di Desa Pekiringan, Kec. Karangmoncol
Rembang
- Mbah Imam – Setumbun Sarang
- Sayid Hamzah – Nglapan Sedan
- Mbah Imam – Setubun Sarang
- Mbah Sambu Dekto – Lasem
- Mbah Kyai Ma’sum – Lasem
- Mbah Abdurrohman Basaiwan – Lasem
Semarang
- Mbah Sholeh – Gunung Berguto
- Sunan Katong – Kali Wungu Kendal
- Mbah Musyafak – Kali Wungu Kendal
- Mbah Sholeh Darat – Bergoto Pajang Kota Semarang
Serang
Tabib Dawud – Warungkondang
Sidoarjo
- KH. Ali Mas’ud (Gus Uet) – Pagerwojo
- Mbah Muntoho bin Zarkasi – Krian
- Dewi Sekardadu
- Sayyid Ibrahim Al Jaelani (Mbah Jenggot) dan Mbah Bongoh – Bungurasih Dalam / Tengah, Waru
- Sayyid Hasan Madinah (Putra Sayyid Arief Segoropuro, Keponakan Sayyid Sulaiman, saudara kandung dari Sayyid Ali Akbar) – Bohar,
- Solo
- Kyai Syarif – Kedung Gudel Kenep
- Mbah Hadi Wijoyo (Joko Tingkir) – Pajang
- Ki Ageng Anis – Lawean
- Haji Sirod – Pajang
SragenPangeran Samodro – Gunung Kemukus Sumber LawangSubangR. Wanayasa Manganti – Sukamandi SubangSumatra- Syaikh Burhanudin – Padang Panjang Pariaman Sumatra Barat
- Syaikh Abdul Wahab Lubis ( [Pondok Pesantren Darul Ulum – Muaramais Kotanopan Mandailing Natal, Sumatra Utara
- Syaikh Ibrahim Al Khalidi – Kumpulan Bonjol Sumatra Barat
Sumenep- Syaikh Yusuf – Raasa Kali Anget Tlangu
- Joko Tole – Saasa Tlangu
Surabaya- Sunan Ampel (Raden Rohmatulloh) – Ampel Semampir
- Mbah Sonhaji – Ampel Semampir
- Mbah Sholeh – Ampel Semampir
- Sunan Bungkul – Darmo Wonokromo
- Sayyid Mansyur – Pasar Turi
- Kyai Djazuli bin Mursad – Pasar Turi
- Abu Hasan – Menanggal
- Maulana A. bin Karimah – Kembang Kuning
- Sunan Boto Putih – Surabaya
SurakartaHadi Wijoyo – Pajang LaweanTasikmalaya- Syaikh Ahmad – Patroman Pangandaran
- Mbah Abdul Muhyiddin – Saparwadi Pamijahan
- Syeikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh)
- Syeikh Ahmad Sohibul Wafa Ta’jul Arifin (Abah Anom)
Tegal- Raden Purabaya – Kramat
- Mbah ki Gede Sebayu
- Mbah Panggung
- Sunan Amangkurat I.
- Pangeran Purbaya.
- Pangeran Hanggawana.
- Pangeran Benowo.
- Mbah Semedo.
- Habib Muhammad bin Thohir Al-Haddad
- Syaikh Armiya bin Kyai Kurdi
- KH Said bin Syaikh Armiya
Trenggalek- Mbah Badowi – Gunung Cilik Durenan
- Mbah Begawan Turesmi – Santren
- Mbah Abd. Hamid – Ngantru
- Mbah Mas’ut Barean – Panggul
- Mbah Boedowi Hudoyono – Gunung Cilik Nggador
- Mbah Yahudo – Nglorok Pacitan Trenggalek
- Mbah Mesir – Semarum Durenan
- Mbah Nur Muzdalifah – Santren
- Mbah Nur Kholifah – Sumber Karangan
- Kyai Ahmad Yunus – Gunung Cilik Kamulan
Tuban- Sunan Bonang (Raden Makhdum Ibrohim) – Kutorejo Kota Tuban
- Syaih Abdul Jabar – Nglirip Singgahan
- Sunan Geseng – Gesing Semanding
- Syaikh Ibrohim Asmoroqondi – Gesik Harjo Palang
- Mbah Mahmudin As’ari – Bejagung Semanding
- Mbah Abdul Jabbar – Nglirip Singgahan
- Mbah Punjul – Nglepon Jatirogo
Tulungagung- Kyai Abd. Fatah Hasan Tholabi – Mk. Mangunsari
- Mbah Noeryahman – Mk. Bakalan
- Mbah Doel ‘Adhim – Botoran
- Mbah Manshur Tsani – Tawangsari
- Kyai Moh. Syarif – Majan
- Mbah Hasan Mimbar – Majan
- Mbah Langkir – Winong
- Mbah Khusen – Mk. Kedung Singkal
- Mbah Hasan Ahmad Joyo Diningrat – Ngadirogo Sumber Gempol
- Mbah Kyai Ageng Patmo Dilogo – Ngadirogo Sumber Gempol
- Mbah Kyai Ageng Mohammad Mesir – Ngadirogo Sumber Gempol
- Habib Ahmad bin Salim Al-Muhdhor – Sumber Gempol
- Mbah Maddhali – Tawangsari
- Mbah Abdul Aziz bin Taruno – Sumur Warak Ngunut
- Mbah Sholeh Faruq / Mbah Wironadi – Ngunut
- Mbah Basyaruddin – Kalangbret Srigading
- Mbah Mansoer – Bancaan Mojosari Kalangbret
- Kyai Abd. Hamid bin Ahmad – Sumput B. Rejo
- Mbah Ghozali – Kauman Kalangbret
- Mbah Mustaham – Bancaan Kalangbret
- Imam Hambali bin Rohmad – Karangwaru
- Mbah Kyai Mustaqim – Kauman
- Mbah Hasan Mimbar – Kauman Karangbret
- Sunan Kuning / Imam Hanafi / Zainal Abidin – Macan Bang Gondang
- Mbah Abu Sujak – Cepean Sembung
- Mbah Hasan Anom As’ari – Kali Turi
- Mbah Jauhari Mahmud – Notorejo
- Mbah Abdulloh Fatah (Surontani) – Tanggung Boyolangu
- Mbah Mundir Madrawi – Campurdarat
- Mbah Raden Fatah bin Qosim – Bedalem
- Mbah Toermudi bin Munir – Bedalem
- Mbah Abu Yusak bin Rokib – Bangunmulyo Pakel
- KH. Dimyati – Campurdarat
- Sayyid Mursad – Campurdarat
- Guru Wali (Nurhidayatulloh) – Popoh
- Mbah Mahmud bin Tohir – Bangunmulyo Pakel
- Abu Hasan bin Rowi – Bangunmulyo Pakel
- Syaikh Wahyuddin Baidlowi – Pojok Ngantru
- Mbah Zarkasi bin Mahmud – Gadingan Sembung
- Mbah Kurdi bin Hudoyono – Tanijayan Bolorejo
- Mbah Maulana – Klampisan Gondang
- Mbah Hasan Anom – Keboireng Besuki
- Mbah Syarqowi / Mbah Witono – Ngujang Tulungagung
- Romo Yai Mustakim
- Romo Yai Abdul Jalil Mustakim
- Mbah Santri Tulungagung
Tapanuli- Syaikh Mahmud di Makam Papan Tinggi
- Makam Mahligai Dengan 215 Makam
- Makam Syaikh Abdul Gani Harahap
- Makam Kramat Jiret Mertuah
Uraian selengkapnya vZiarah Makam Wali Di TapanuliYogyakarta- Syaikh Maulana Maghribi – Parangtritis Parangkusumo Bantul
- Sutowijoyo (Pangeran Senopati) – Kota Gede
- I.M Sujono (HB. Awal) – Imogiri
- Mbah Jemadikubro – Gunung Dorgo Kali Urang
- Sultan Agung – Imogiri
- Syeikh Ahmad Al-Maghrobi – Jati Anom
- Mbah Kyai Ashari – Lempuyangan
- Mbah Kyai Munawir – Krapyak
- Mbah Nuriman – Mlangi
- Kyai Ahmad Dardiri – Lempuyangan
Para pengunjung yang budiman, apabila masih ada ulama dan wali yang belum tercantum dalam daftar tersebut di atas, silahkan tambahkan dengan mengisi komentar.
Langganan:
Postingan (Atom)