Jumat, 03 Januari 2020

MENGAPA RATA RATA KELOMPOK WAN ABUT NGEYEL

Normalisasi VS naturalisasi.
( Politik dan Ekonomi).

Kajian soal DAS ( Daerah Aliaran Sungai ) sejak tahun 80an sudah dilakukan secara akademis. Dalam kerangka teori sudah diakui dunia.  Anda bisa  baca tulisan Linsley ( Water Resources Engineering ) dan jurnal dari IFPRI (International Food Policy Research Institute ). Bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi.

Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun. Contoh yang sederhana, anda bisa lihat Sungai di Surabaya. Terliat menyatu dengan lingkungan dan indah. Untuk lebih keren, anda bisa lihat sungai di tengah kota Seoul. Bukan hanya tertata dengan baik, malah jadi objek wisata. Juga di Shanghai dan Shenzhen, sungai terkelola dengan baik sesuai fungsinya.

Nah mengapa ada program Normalisasi sungai? konsep dasarnya adalah mengembalikan fungsi asli sungai agar 15 DAS yang ada di Jakarta dapat dikelola. Bukan hanya untuk mengendalikan banjir tetapi juga untuk menjaga ekosistem. Lantas megapa ada istilah normalisasi ? karena memang 15 DAS yang ada di Jakarta itu bisa dikatakan tidak lagi normal. Karena, luas sungai sudah berkurang akibat hunian yang berada di bantaran kali. Yang lebih konyolnya adalah mereka bukan hanya tinggal di bantaran Sungai, tetapi juga sudah merampas kali dengan cara menguruk sungai untuk tempat tinggal.  Sementara sungai yang ada akibat berjejalnya tempat hunian, jadi tempat pembuangan sampah. Sungaipun jadi kotor dan air terhambat, yang membuat sungai semakin dangkal.

Hal tersebut bukan hanya disadari baru baru ini, tetapi sudah disadari sejak lama. Makanya keluar Peraturan Daerah Khusus Ibu Kota DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, yang melarang orang tinggal di Bantaran Sungai. Kemudian, Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030. Program normalisasi sungai itu, disamping melakukan pengerukan dasar sungai, membuat sodetan-sodetan, juga merelokasi hunian yang  ada di DAS.

Program pengelolaan DAS ini bukan hanya DKI tetapi juga di daerah lainnya. Seperti kawasan Bogor juga harus melakukan pengelolaan DAS dengan baik. Diantaranya adalah menjaga dampak buruk dari adanya kerusakan hutan ( deforestasi), seperti kemiringan lereng, karakteristik tanah, dan kurangnya area resapan air. Akibat pembangunan yang berlangsung berpuluh tahun tanpa pengendalian lingkungan, deforestasi tidak bisa dihindari di kawasan Bogor. Sehinga bila terjadi pada musim hujan, tanah di perbukitan Puncak semakin mudah terseret air, lalu menggelontor ke sungai dan menjadi sedimentasi. Otomatis kapasitas daya tampung sungai jadi berkurang.

Ini masalah yang harus dibenahi agar DAS ke hilir wilayah Jakarta tidak overload. Karena tidak semua air mersap ke dalam tanah. Solusinya untuk kawasan Bogor dalam jangka pendek adalah membangun bendungan raksasa agar air yang tidak terserap ke dalam tanah, mengalir ke bendungan tersebut. Nah, bendungan  itu berfungsi untuk mengontrol debit air dari daerah dataran tinggi di sekitar Jakarta, yaitu Bogor, Jawa Barat. Baru di era Jokowi bendungan itu di bangun, yakni Sukamahi dan Ciawi. Diperkirakan tahun 2020 selesai. Disamping itu, reboisasi hutan kawasan bogor harus dilakukan. Agar terjadi keseimbangan ekosistam dalam jangka panjang.

Yang jadi masalah di Jakarta adalah pemerintah pusat sudah melakukan pembenahan DAS di kawasan Bogor dengan membangun bendungan raksasa. Sementara DAS di Jakarta diubah konsepnya dari normalisasi menjadi naturalisasi. Apa yang dimaksud oleh Anies dengan Naturalisasi ? Kita bisa baca Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air Secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi yang diterbitkan Anies pada 1 April 2019. Disitu definisi naturalisasi dijelaskan dalam Konsep naturalisasi sebagai cara mengelola prasarana sumber daya air melalui konsep pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) dengan tetap memperhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir, serta konservasi.

Tahu apa artinya Pergub itu? ya menyiapkan lahan hijau terbuka sebagai resapan air. Sehingga kalau hujan datang, tidak semua mengalir ke sungai tetapi bisa masuk kedalam tanah. Pertanyaannya adalah bagaimana menyediakan lahan hijau terbuka di Jakarta, yang terbatas dan hunian padat.? Engga mudah tentunya. Tetapi anehnya, dalam naturalisasi itu ada juga program meliputi kali, saluran, sungai, waduk, situ dan, embung. Tetapi tidak di jelaskan sesuai dengan konsep DAS. Saya tidak tahu apakah ada kajian akademis yang teruji di dunia tentang Naturalisasi ini.

Namun saya dapat menyimpulkan bahwa program naturalisasi ini tak lain cara Anies untuk menghindar dari program normalisasi sungai. Mengapa ? karena memang program normalisasi sungai itu tidak populer. Semua gubernur yang pernah ada di Jakarta di hujat karena adanya program normalisasi sungai ini.  Sementara bagi Anies, DKI itu sebagai batu loncatatan untuk menjadi RI-1. Dia tidak mau kehilangan popularitas bila harus menggusur hunian di DAS. Kalau faktanya tetap ada penggusuran hunian di DAS, itupun tidak sesuai dengan konsep normalisasi Sungai. Itu sebabnya, dua tahun belakangan ini program normalisasi sungai terhenti.

Pemerintah pusat tidak bisa intervensi Gubernur. Karena acuan soal hunian atau tata ruang adalah sepenunya hak kepala Daerah. Anies bermain main dengan hak otonominya, sambil buying time sampai tahun 2024 untuk melenggang sebagai Capres. Sementara soal banjir yang melanda Jakarta, dia salahkan pemerintah pusat, yang mengacu kepada program normalisasi sungai. Anies anggap itu keliru. Salahnya dimana ? Kelirunya dimana? Apapun alasannya tetap tidak terpelajar. Dia tetap ngeyel seperti kelakuan kadrun. Yang waras terpaksa ngelus dada, termasuk Jokowi. Itulah contoh nyata drama politik yang menempatkan orang yang salah Menjadi Gubernur!!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar