Kamis, 02 Mei 2019

Ijtima' Ulama orang Kampung

*Yakin Namanya Ijtima' Ulama?*
Oleh: Slamet Tuharie Ng

"Ijtima' Ulama," itu artinya Ulama berkumpul, bertemu, bersidang dan bersatu. Kalau di desa saya, setiap malam jum'at juga ada "ijtima'an" per RT, isinya ya kumpul bapak-bapak untuk ngaji Yasin dan Tahlil keliling dari satu rumah ke rumah yang lain. Kita biasa nyebut "ijtima'an", yang berasal dari kata "Ijtama'a - Yajtami'u - Ijtima'an" yang artinya berkumpul. Jadi, ada ijtima'an bapak-bapak, ada ijtima'an ibu-ibu, dan sebagainya. Itu desa saya, yang di pelosok itu. Nah, habis ngaji Yasin dan Tahlil yang bid'ah itu selesai, kita kemudian menikmati teh anget, makan jajanan, atau juga kadang disediakan makan besar.

Sambil menikmati hidangan itu, bapak-bapak jama'ah Ijtima'an selalu bahas masalah yang paling hot di kampung; seperti masalah keamanan, jadwal pengairan kalau pas musim kemarau (leb), masalah iuran dan kondisi kas lingkungan, sampai masalah pembagian beras murah, dan jadwal ronda kalau pas lagi musim maling. Hehe.... Jadi di desa saya, maling saja ada musimnya. Itu contoh hasil dari Ijtima' di tempat saya, yang isinya selalu masalah Waqi'iyyah (aktual).

Beda lagi kalau di NU, kalau Ulama sudah ngumpul, biasanya yang dibahas itu masalah-masalah Diniyah Waqi'iyah (pembahasan masalah keagamaan yang aktual), Diniyah Maudhu'iyah (pembahasan masalah keagamaan dengan model tematik), dan Diniyah Qanuniyah (pembahasan masalah agama dalam menyikapi perundang-undangan). yang hadir juga Ulama-ulama dengan keilmuan yang luar biasa, dengan serta membawa kitab-kitab klasik sebagai referensi untuk menguatkan pandangannya. Saya sendiri beberapa kali menyaksikan kegiatan itu ketika di Wonosobo, Cirebon dan Lombok.

Bahkan, isinya juga dilengkapi dengan jawaban yang argumentatif dilengkapi dengan ta'rif (definisi), adillah (dalil-dalil) dan posisi para Ulama itu berada di mana. Ini luar biasanya kalau Ulama-ulama NU sudah ngumpul, isinya adu argumen yang ujung-ujungnya adalah li mashlahatil 'Ammah atau untuk kebaikan bersama berbangsa dan bernegara. Tentu saja, jangan samakan hasil Ijtima' Ulama NU dengan kelompok Ijtima'an bapak-bapak di desa saya. Beda level, beda maqam, tapi intinya sama. Sama-sama mengambil keputusan yang didasarkan atas kemasalahatan bersama. Hanya saja, kalau di desa saya tentu tingkat kemasalhatannya untuk lingkungan, kalau Ulama NU untuk agama, bangsa, dan negara.

Tapi beda lagi, dengan 'Ijtima' Ulama' yang kemunculannya sejak awal selalu ramai dan sebentar lagi akan digelar kembali. Bedanya adalah, kalau di NU yang bisa nashrif, baca kitab gundul, alfiyahnya juga nglothok tak selalu bisa jadi peserta ijtima'. Karena tidak semua orang yang berkemampuan itu sudah memiliki hak untuk berijtihad. Paling banter-bantere hanya bisa menjadi mustami' alias pendengar. Lha, ini ada yang nashrif-nya masih 'babak belur', nashrif dari bentuk madhi Tsulasi Mujarrod, tiba-tiba masdar-nya berubah pola jadi Tsulasi Mazid, giliran nashrif pake Tsulasi Mazid, ngartiinnya kebalik, tapi mereka ini bisa ikut ijtima' Ulama dan katanya Ulama.

Ada yang tadinya bos perusahaan yang bangkrut, tiba-tiba berubah jadi Ulama. Ada yang awalnya motivator berubah jadi Ulama. Ada yang baca Qur'annya saja grothal-grathul juga jadi Ulama, yang penting modal bisa pidato keras juga bisa jadi Ulama. Lha ini, terus produk yang dihasilkan akan seperti apa? Padahal kalau mau ambil keputusan hukum Islam kan harus bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah. Kalau belum ketemu secara spesifik akhirnya ke tafsir, kitab-kitab fiqh (kalau masalah hukum), dan lain sebagainya.

Lha ini, baca Qur'annya saja salah, terus katanya ambil hukumnya kok dari Qur'an. Ini kan lucu. Bayangkan saja, ada orang yang belum bisa baca Qur'an tapi ngomongnya "ini hukum berdasarkan al-Qur'an." Lha wong baca saja salah apalagi memahami. Ini sama saja kaya orang ngga bisa baca plang lalu lintas, kemudian menunjukkan kepada orang lain arah ke suatu tempat. Apa ngga bikin nyasar? Terus, ini masalah cukup prinsipil. Nashrif saja ngga bisa, kok mau ngambil fatwa, lha itu basisnya apa? Kitab Ulama klasik? Perangkat dasarnya saja tidak menguasai, bagaimana memutuskan produk turunannya. Ini kan lucu. Kaidah bahasa Arab saja ngga paham, tapi mau memutuskan hukum yang berdasarkan dengan sumber yang berbahasa Arab. Kan aneh.

Sama ketika sampean ngga tahu singkong, kemudian sampean memaksa membuat olahan singkong dengan resep sendiri dan disuguhkan kepada orang lain. Ya kalau singkongnya singkong bagus, kalau singkong beracun? "Wis ngga ngerti jenis singkong, ngga bisa mengolah singkong, maksa buat singkong, dan maksa orang lain untuk memakannya." Sampean doyan?

Tak pikir-pikir, perasaan kalau Ulama NU ber- Ijtima' itu yang dibahas ya Masalah Diniyah Waqi'iyah, Diniyah Maudhu'iyah, dan Diniyah Qanuniyah. Lha ini dari awal berdiri sampai sekarang kok yang dibahas hanya masalah "Pilpresiyah." Iku Ijtima' Ulama atau Ijtima' Tim Sukes? Wallahu A'lam.
#santriLamongan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar